Pengertian Kafaah - Secara etimologis, kata kafa'ahberasal dari bahasaArab dari kata Kafaa yang berarti kesamaan, sepadan, sejodoh. Secara terminologi menurut Sayyid Sabiq, maksudkufudalam pernikahan yaitu: laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Selanjutnya menurut Sayyid Sabiq bahwa tidaklah diragukan jika kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebanding, akan merupakan faktor kebahagiaan hidup suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga.
Untuk dapat terbinanya dan terciptanya suatu rumah tangga yang sakinahmaupun mawaddahdan rahmah, Islam menganjurkan agar adanya keseimbangan dan keserasian, kesepadanan dan kesebandingan antara kedua calon suami isteri itu yang dalam istilah agama disebut kafa'ah. Itulah sebabnya dalam kitab Fath al-Mu’în ditegaskan: Artinya: "Kafa'ah atau keseimbangan adalah suatu hal yang dianggap mu'tabarah(penting) di dalam pernikahan, bukan dalam sahnya aqadnikah, bahkan karena hal itu menjadi hak calon isteri dan wali, maka mereka bisa menggugurkannya".
Pengertian Kafa'ah
Kafaah itu disyariatkan atau diaturdalam perkawinan Islam namun karena dalil yang mengaturnya tidak ada yang jelas dan spesifik baik dalam Al-Qur'an maupun dalam hadis Nabi, maka kafaahmenjadi pembicaraan di kalangan ulama, baik mengenai kedudukannya dalam perkawinan, maupun kriteria apa yang digunakan dalam penentuan kafaah itu.
Menurut Amir Syarifuddin bahwa penentuan kafaah itu merupakan hak perempuan yang akan kawin sehinggabila dia akan dikawinkan oleh walinya dengan orang yang tidak se-kufudengannya, dia dapat menolak atau tidak memberikan izin untuk dikawinkan oleh walinya. Sebaliknya dapat pula dikatakan sebagai hak wali yang akan menikahkan sehingga bila si anak perempuan kawin dengan laki-laki yang tidak se-kufu, wali dapat mengintervensinya yang untuk selanjutnya menuntut pencegahan berlangsungnya perkawinan itu. Yang dijadikan standar dalam penentuan kafaah itu adalah status sosial pihak perempuan karena dialah yang akan dipinang oleh laki-laki untuk dikawini. Laki-laki yang akan mengawininya paling tidak harus sama dengan perempuan; seandainya lebih tidak menjadi halangan. Seandainya pihak istri dapat menerima kekurangan laki-laki tidak menjadi masalah. Masalah timbul kalau laki-laki yang kurang status sosialnya sehingga dikatakan si laki-laki tidak se-kufu dengan istri.
Menurut Muhammad Jawad Mughniyah bahwa para ulama memandang penting adanya kafa'ahhanya pada laki-laki dan tidak pada wanita. Sebab, kaum laki-laki berbeda dengan kaum wanita tidak direndahkan jika mengawini wanita yang lebih rendah derajat dari dirinya. Hanafi, Syafi'i, dan Hambali sepakat bahwa kesepadanan itu meliputi: Islam, merdeka, keahlian, dan nasab. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal harta dan kelapanganhidup. Hanafi dan Hambali menganggapnya sebagai syarat, tapi Syafi'i tidak. Sedangkan Imamiyah dan Maliki tidak memandang keharusan adanya kesepadanan kecuali dalam hal agama.
Menurut Muhammad Jawad Mughniyah bahwa betapapun juga, keharusan adanya kesepadanan dalam perkawinan adalah tidak sesuai dengan nash Al-Quran yang berbunyi, "Sesungguhnya yang paling mulia di antaramu di sisi Allah adalah yang paling takwa." (Q.S. 49:13), dan dengan prinsip Islam yang berbunyi, "Tidak ada kelebihan sedikitpun bagi orang Arab atas orang ajam (non-Arab) kecuali dalam hal takwa." Juga tidak sejalan dengan Sunnah Rasul Saw. Ketika beliau memerintahkan Fathimah binti Qais untuk menikah dengan Zaid bin Usamah, dan menyuruh Bani Bayadhah untuk mengawinkan Abu Hind (dengan salah seorang anak gadis mereka) padahal Abu Hind adalah seorang pembuat tali kekang kuda. Itu sebabnya, maka terlihat adanya banyak ulama yang tidak mensyaratkan kafa'ah dalam perkawinan, semisal Sufyan Al-Tsauri, Hasan Al-Bashri, dan Al-Karkhi dari kalangan Hanafi, dan Abu Bakar Al-Jashshash serta pengikutnya dari kalangan ulama Irak.