Pengertian Zuhud - Lois Ma’luf menjelaskan bahwa arti zuhud berasal dari bahasa arab zahada artinya raghaba ‘anhu wataraka (benci dan meninggalkan sesuatu). Zahada fi-Ad-Dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Orang yang melakukan zuhud disebut zahid, zuhhad, atau zahidun. Zahidah jamaknya zuhdan, artinya kecil atau sedikit.
Abdul Halim Hasan dalam kitabnya At-Tasauf fi Asy-syi’ri Al-Arabi, mengatakan: “Adapun zuhud menurut bahasa materinya tidak berkepentingan. Dikatakan pada sesuatu apabila tidak tamak padanya. Adapun sasarannya adalah dunia, dikatakan pada seseorang bila dia menarik diri untuk tekun beribadah dan menghindarkan diri dari keinginan menikmati kelezatan hidup adalah zuhud pada dunia. Inilah makna agamis dari pada zuhud.”
Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis, maka tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes. Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu stasiun (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya.
|
Pengertian Zuhud |
Zuhud sesuai dengan pandangan sufi, hawa nafsu duniawilah yang menjadi sumber kerusakan moral manusia. Sikap kecenderungan seseorang kepada hawa nafsu mengakibatkan kebrutalan dalam mengejarkepuasan nafsunya. Dorongan jiwa yang ingin menikmati kehidupan duniawi akan menimbulkan kesenjangan antara manusia dengan Allah. Agar terbebas dari godaan dari pengaruh hawa nafsunya, manusia harus bersikap hati-hati terhadap dunia. Iaharus zuhud terhadap dunia, yaitu meninggalkan kehidupan duniawi dan melepaskan diri dari pengaruh materi.
Telah terjadi pemahaman dan penafsiran yang beragam terhadap zuhud. Namun secara umum zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Sampai di mana batas pelepasan diri dari rasa ketergantungan itu? Para sufi berlainan pendapat dalam menjawabnya. Di bawah ini adalah tokoh-tokoh Islam yang penulis ambil dari beberapa pendapat mengenai zuhud di antaranya adalah:
1. Al-Qusyairi mengartikan zuhud sebagai suatu sikap menerima rizki yang diterimanya. Jika makmur, ia tidak merasa bangga dan gembira. Namun apabila miskin, ia pun tidak bersedih karenanya.
2. Lain halnya dengan pendapat Hasan al-Bashri yang mengatakan bahwa zuhud itu meninggalkan kehidupan dunia, karena dunia ini tidak ubahnya seperti ular, licin apabila dipegang, tetapi racunnya dapat membunuh.
3.
Harun Nasution mengatakan bahwa zuhud adalah meninggalkan dunia dan hidup kematerian, sebab dunia dipandang sebagai hijab (penghalang) antara sufi dan Tuhan.
4. Sufyan Ats Tsauri mengartikan zuhud dengan pendeknya lamunan, tidak sekedar makan yang tidak bergizi, dan berpakaian yang kumal, tidak merasa berbangga terhadap kemewahan dunia yang telah ada di tangannya dan tidak merasa bersedih dengan hilangnya kemewahan tadi dari tangannya.
5. Berkaitan dengan zuhud, Diwan Abi Nuwas menjelaskannya dalam bentuk puisi sebagaimana yang tertulis di bawah ini: “Begitu kamu senang terhadap dunia ini maka hanya kepahitan hidup yang kau dapatkan. Apakah kamu tidak tahu tentang hakikat dunia yang awalnya bening dan akhirnya keruh (asin dan pahit)”.
6. Al-Ghazali, misalnya, mengartikan zuhud sebagai sikap mengurangi keterkaitan kepada dunia untuk kemudian menjauhinya dengan penuh kesadaran. Zuhud didefinisikan sebagai tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, pujian atau celaan, karena keakrabannya dengan Tuhan. Al-Ghazali menyebut tiga tanda zuhud. Pertama, tidak bergembira dengan yang ada dan tidak bersedih karena ada yang hilang. Kedua, sama saja baginya orang yang mencela dan orang yang memujinya. Yang pertama adalah tanda zuhud dalam harta, sedangkan yang kedua tanda zuhud dalam kedudukan. Ketiga, hendaknya ia bersama Allah dan hatinya lebih didominasi oleh lezatnya ketaatan dan cinta Allah.
7. Dan yang terakhir ini adalah pendapat dari seorang zahid perempuan yang sangat mencintai Tuhannya, yaitu Rabi’ah al-Adawiyah. Ciri kezuhudannya ialah al-mahabbah(cinta). Menurut para sufi, al-mahabbah adalah suatu tingkatan tertinggi dalam tasawuf, karena mahabbah yang sejati itu tidak mengenal pamrih. Hal ini telah dibuktikan oleh Rabi’ah sendiri bahwa pengabdiannya kepada Tuhan bukan karena takut neraka dan ingin sorga-Nya, akan tetapi semata-mata cinta pada-Nya.
Itulah beberapa pendapat dari para tokoh Islam, dan kendati pun zuhud didefinisikan dengan redaksi yang berbeda, tetapi inti dan tujuan zuhud sama, yaitu tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir.Dunia harus ditempatkan sebagai sarana dan dimanfaatkan secara terbatas dan terkendali. Jangan sampai kenikmatan duniawi menyebabkan susutnya waktu dan perhatian kepada tujuan yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan yang abadi di hadirat Ilahi.
Dalam kamus besar ilmu pengetahuan dijelaskan bahwa zuhud merupakan tindakan meninggalkan sesuatu yang disayangi dan kemewahan duniawi seraya mengarahkan diri kepada dunia spiritual dan kebahagiaan akhirat. Seorang yang zuhud seharusnya hatinya tidak terbelenggu atau hatinya tidak terikat oleh hal-hal yang bersifat duniawi. Dan tidak menjadikannya sebagai tujuan. Hanya sarana untuk mencapai derajat ketakwaan yang merupakan bekal untuk akhirat.
Sedangkan menurut pendapat penulis sendiri bahwa zuhud itu adalah sikap yang harus diambil dan wajib dipraktekkan oleh setiap manusia yang beriman, sehingga dalam kehidupannya akan muncul sifat-sifat yang terpuji. Dan perlu penulis ingatkan kembali bahwa hidup ini hanyalah sebentar, jadi janganlahmengedepankan kehidupan duniawi yang sifatnya fana ini. Jika hawa nafsu sudah dapat dikendalikan maka kemudahan untuk mendekatkan diri kepada Allah akan dapat tercapai.
Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 77, yang Artinya: “Katakanlah, ‘kesenangan dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. An-Nisa’: 77)
Karena itu, di dalam bukunya yang berjudulTasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern, M. Amin Syukur mengutip salahseorang tokoh sufi yang bernama Yahya bin Mu’adz, beliau menyatakan bahwa sifat zuhud akan melahirkan kedermawanan. Zuhud digambarkan oleh al-Qur’an, surat al-Hadid ayat 23 Artinya: “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang telah diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Zuhud adalah instrumen terbaik dalam menyikapi dunia. Zuhud tidak identik dengan melarat. Bahkan, dalam sebuah riwayat dikatakan, bahwa orang yang berimanlah yang berhak memiliki dunia. “Zahid adalah orang yang memiliki dunia dan tidak dimiliki dunia,” demikian tegas Ali bin Abi Thalib. Yang kerap terjadi adalah kita dikontrol dunia, bukan kita yang mengontrol dunia. Itulah yang dikecam Islam. Dan kita maklum, karena perilaku demikianlah yang pada gilirannya bisa mengkondisikan orang yang berwatak tamak, rakus, dan egois, sebagaimana disinyalir dalam Al-Qur’an surat Al-Takatsur ayat 1-3.
Orang yang enggan menyunting zuhud dalam hidupnya, hakikatnya telah menjadi budak hawanafsunya. Padahal, “Hawa nafsu adalah musuh akal,” ujar Imam Ja’far Al-Shadiq.
Salah satu kiat agar kita bisa hidup zuhud adalah dengan melazimkan muraqabah (mawas diri) dan muhasabah(introspeksi), di samping selalu memagari diri dari serbuan hawa nafsu dunia yang datangdari tiga penjuru: kesenangan (lahwun), permainan (la’bun), dan kesia-siaan (‘abats).
Muhasabah merupakan kunci bagi sejenis penahanan diri yang dikemukakan oleh Hasan al-Basri, di mana orang yang beribadah berusaha menghindari semua yang mungkin bertentangan dengan ajaran Allah dalam bentuk kata-kata atau perbuatan dengan hati atau anggota-anggota badan dan menolak segala hal yang mungkin mengakibatkan murka-Nya.
Asep Salahudin mengutip pendapatnya Al-Fudhail yang dilaporkan berkata, “Allah memberikan segenap keburukan dalam sebuah rumah tangga dan sebab utamanya adalah cinta dunia. Allah juga menjadikan segenap kebaikan dalam sebuah rumah tangga dan sebab utamanya adalah zuhud dari dunia.”