 |
Pengertian Akhlak |
Sementara itu
Ibrohim Anis menyatakan bahwa yang disebut “akhlak” ialah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Sedangkan Imam Gazali dalam bukunya “Ihya Ulumuddin” menyatakan akhlak ialah sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang menimbulkan segala perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan.
Ibnu Maskawaih menyatakan bahwa yang disebut “akhlak” ialah keadaan jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran (lebih dulu). Sedangkan ulama-ulama yang lain memberikan definisi sebagai berikut: ”akhlak ialah gambaran jiwa yang tersembunyi yang timbul pada manusia ketika menjalankan perbuatan-perbuatan yang tidak dibuat-buat atau dipaksa-paksakan”.
Dengan demikian, ruang lingkup
akhlaq mencakup hal-hal sebagai berikut: Pertama, pola hubungan manusia dengan Allah, seperti mentauhidkan Allah dan menghindari syirik, bertaqwa kepada-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya melalui berdo’a, berdzikir diwaktu siang ataupun malam, baik dalam keadaan berdiri, duduk, ataupun berbaring, dan bertawakal kepada-Nya. Kedua, pola hubungan manusia dengan Rasulullah SAW, yaitu: menegakkan sunnah Rasul menziarahi kuburnya di Madinah, dan membacakan sholawat. Ketiga, pola hubungan manusia dengan dirinya sendiri, seperti: menjaga kesucian diri dari sifat rakus dan mengumbar nafsu, mengembangkan keberanian (syaja’ah) dalam menyampaikan yang hak, menyampaikan kebenaran, dan memberantas kedzaliman, mengembangkan kebijaksanaan dengan memberantas kebodohan dan jumud, bersabar tatkala mendapat musibah dan dalam kesulitan, bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah, rendah hati atau tawadhu’ dan tidak sombong, menahan diri dari melakukan larangan-larangan Allah atau iffah, menahan diri dari marah walaupun hati tetap dalam keadaan marah atau hilmun, memaafkan orang, jujur atau amanah, dan merasa cukup dengan apa-apa yang telah diperoleh dengan susah payah atau qana’ah. Keempat, pola hubungan dengan keluarga, seperti: berbakti kepada kedua orang tua atau birul walidain, baik dengan tutur kata, pemberian nafkah, ataupun do’a, memberi bantuan material ataupun moral kepada karib kerabat atau aati dzal qurba, (suami) memberi nafkah kepada istri, anak dan anggota keluarga lain, (suami) mendidik istri dan anak agar terhindar dari api neraka, dan (istri) mentaati suami. Kelima, pola hubungan dengan masyarakat. Dalam kontek kepemimpinan, pola-pola hubungan yang perlu dikembangkan adalah: menegakkan keadilan, berbuat ihsan, menjunjung tinggi musyawarah, memandang kesedarajatan manusia, dan membela orang-orang lemah (seperti orang miskin, orang yang tersiksa, dan orang yang tidak berpendidikan), mentaati pemimpin, dan berperan serta dalam kegiatan-kegiatan kepemimpinan. Sementara sebagai anggota masyarakat perlu menjunjung tinggi ukhuwah dalam seiman dan ukhuwah kemanusiaan, saling tolong menolong, pemurah dan penyantun, penepati janji, saling wasiat dalam kebenaran dan ketakwaan.
Dengan demikian, sesungguhnya akhlak telah mengatasi hukum syariat yang lebih mengacu kepada norma perilaku lahiriyah. Apa yang baik menurut syariat belum tentu baik menurut akhlak. Sebaliknya apa yang baik menurut akhlak sering tidak terlihat oleh syariat. Misalnya, seseorang yang secara lahiriyah telah melakukan ibadah sholat, tidak berarti ia sudah pasti orang baik menurut akhlak. Dengan katalain akhlak lebih melihat motivasi suatu tindakan, sedangkan syariat lebih melihat bentuk praktisnya. Oleh karena itu menurut akhlak segala motivasi tindakan harus diacukan kepada Tuhan (ikhlas).
Kemudian untuk menilai sesuatu perbuatan apakah baik atau buruk, menurut Islam harus dilihat dari dua segi: Pertama, apakah baik atau tidak. Kedua, niat melakukan perbuatan tersebut. Suatu perbuatan baik dalam pandangan umum dan agama tetapi dengan niat yang tidak baik, maka tidak akan dikatakan baik.