Pengertian Keberagaman - Dalam kehidupan sehari-hari, kita kenal istilah religi (regio, bahasa latin; religion, bahasa inggris), agama, dan din (al-diin, bahasa Arab). walaupun secara etimologis memiliki arti sendiri-sendiri, namun secara terminologi dan teknis istilah-istilah diatas ber inti makna sama.
Religi yang berakar kata religare berarti mengikat. Secara komprehensif, ahli psikologi agama Glock dan Stark menandaskan bahwa religi adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang paling maknawi (Ultimate Meaning).
Dari istilah agama dan religi muncul istilah keberagaman dan religiositas (Religiosity). Pengertian religiositas atau keberagaman adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah, dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya. Bagi seorang muslim, religiositas dapat diketahui dari berapa jauh pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan atas agama Islam.
Pandangan Aliran-Aliran Psikologi Tentang Keberagaman
Dalam perkembangan psikologi modern saat ini memberikan tempat khusus bagi kajian tentang keberagamaan (religiositas), dan ini sangat menarik sekali untuk kita mencoba mengkajinya bagaimana pandangan aliran-aliran psikologi modern dalam memaknai keberagamaan (religiositas) itu sendiri :
1. Menurut Psikoanalisis
Aliran Psikoanalisis yang dipelopori oleh seorang dokter Psikiatri yaitu Sigmund Freud, struktur kepribadian manusia menurut Freud terdiri dari Id, Ego dan Superego. Freud menyebutkan Id adalah sistem orisinil kepribadian yang berfungsi untuk menghindarkan ketidak enakan untuk mendapatkan kenikmatan. Id adalah aspek biologis yang mempunyai energi untuk dapat mengaktifkan ego dan super ego. Energi yang mengikat dari Id sering menimbulkan ketegangan dan rasa tidak enak, kadang-kadang dorongan-dorongan itu tidak terkendali dan tidak sesuai dengan kenyataan sehingga ego terpaksa menekan dorongan-dorongan tersebut. Sedangkan Superego berperan mengatur agar ego bertindak sesuai dengan moral masyarakat. Jadi dapat dikatakan Id mewakili kepentingan pribadi sementara Superego berperan mewakili norma-norma masyarakat. Untuk mengatur mekanisme diantara keduanya, berperanlah Ego sebagai penengah antara kepentingan pribadi dengan kepentingan bersama atau masyarakat.
Menurut Freud dorongan beragama bukanlah suatu dorongan yang alami atau asasi, melainkan dorongan yang tercipta karena tuntutan lingkungan. Freud juga mengatakan bahwa Tuhan adalah refleksi dari Oedipus complex kebencian pada ayah yang dimanifestasikan sebagai ketakutan pada Tuhan. Secara psikologis, agama adalah illusi manusia, manusia lari pada agama disebabkan ketidak berdayaannya menghadapi bencana yang dihadapinya.
Dengan demikian, segala bentuk prilaku keberagamaan merupakan ciptaan manusia yang timbul dari dorongan agar dirinya terhindar dari bahaya dan dapat memberikan rasa aman. untuk itu manusia menciptakan Tuhan dalam pikirannya untuk bisa menghindar dari bahaya yang mungkin akan menimpanya.
|
Pengertian Keberagaman |
2. Menurut Behaviorisme
Aliran ini mengemukakan bahwa obyek psikologi hanyalah perilaku yang kelihatan nyata dan menolak pendapat sarjana psikologi lain yang mempelajari tingkah laku yang tidak nampak dari luar.
Behaviorisme (aliran perilaku), yang diilhami John Broadus Watson dan digerakkan oleh B.F. Skinner tidak memberikan banyak perhatian kepada agama atau perilaku agama. Karena mereka beranggapan bahwa perilaku keberagamaan sama sebagaimana perilaku yang lain yaitu sebagai proses tanggapan fisiologis manusia yaitu setiap ada rangsangan (stimulus) lalu ada respon.
Skinner, sebagai tokoh utama behaviorisme berpendapat bahwa perilaku manusia pada umumnya dapat dijelaskan berdasarkan teori pengkondisian operan (operant conditioning). Manusia berbuat sesuatu dalam lingkungannya untuk mendatangkan akibat-akibat, entah untuk mendatangkan pemenuhan kebutuhan atau menghindari datangnya hukuman atau pengalaman yang tidak enak. Skinner menolak mekanisme internal dan eksternal untuk menjelaskan pengalaman keberagamaan, dan dia menegaskan bahwa kegiatan keberagamaan diulangi karena menjadi faktor penguat sebagai perilaku yang meredakan ketegangan.
Sedangkan John Broadus Watson mengatakan bahwa aksi dan reaksi manusia terhadap suatu stimulus hanyalah dalam kaitannya dengan prinsip reinforcement (reward dan punishment). Manusia tidak mempunyai will power. Ia hanya robot yang bereaksi secara mekanistik atas pemberian hukuman dan hadiah. Konsep Tuhan tidak masuk sama sekali dalam konteks behaviorisme.
3. Menurut Humanisme
Aliran ini muncul pada pertengahan abad kedua puluh sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap behaviorisme dan psikoanalisis. Tokoh dari aliran ini adalah Abraham Maslow. Dalam pandangan Maslow, semua manusia memiliki perjuangan atau kecenderungan yang dibawa sejak lahir untuk mengaktualisasikan diri.
Kita didorong oleh kebutuhan-kebutuhan yang universal yang dibawa sejak lahir yang tersusun dalam suatu tingkat, dari yang paling rendah sampai yang paling kuat. Tingkat-tingkat kebutuhan layaknya sebuah tangga dimana kita harus meletakkan kaki pada tangga yang pertama sebelum mencapai tangga yang kedua, dan seterusnya.
Prasyarat untuk mencapai aktualisasi diri adalah memuaskan empat kebutuhan yang berada pada tingkat yang paling rendah, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan memiliki cinta, dan kebutuhan akan penghargaan. Aktualisasi diri didefinisikan sebagai perkembangan yang paling tinggi dan menggunakan semua bakat perkembangan yang paling tinggi.
Aliran Humanisme mengakui eksistensi agama. Dalam teorinya Maslow pernah mengungkapkan teori metamotivation diluar kelima hierarchy of needs. Mystical atau peak experience adalah bagian dari metamotivation yang menggambarkan pengalaman keagamaan. Pada kondisi ini manusia merasakan adanya pengalaman keagamaan yang sangat mendalam. Pribadi (self) lepas dari realitas fisik dan menyatu dengan kekuatan transcendental (self is lost and transcended). Dimata Maslow level ini adalah bagian dari kesempurnaan.
Pengalaman puncak yang transcendent digambarkan sebagai sehat supernormal (normal super healthy) dan sehat super sehat (super super healthy). Maslow menyebutkan peakers (transcenders) dan non-peakers(non-transcenders). Non peakers cenderung menjadi orang yang praktis, berinteraksi dengan dunia secara efektif dan kurang dengan dunia kehidupan N (B-living) yang lebih tinggi. Mereka cenderung menjadi pelaku bukan mediator atau kontemplator. Mereka cenderung menjadi lebih mistik, puitis dan saleh, lebih tanggap terhadap keindahan dan kemungkinan lebih besar menjadi pembaharu-pembaharu atau penemu.
4. Menurut Transpersonal
Psikologi transpersonal lahir dan tumbuh ditengah-tengah perubahan politik, budaya, agama dan gelombang yang menuntut persamaan hak. Dimulai dari proses mahasiswa terhadap perang Vietnam sampai gerakan ekeologi. Dari gelombang protes tersebut mengalir arus spiritual yang kuat.
Kejenuhan akan kemewahan material mendorong anak-anak muda zaman itu mencoba mariyuana, zat-zat psikedelik, seperti mescaline, peyote, dan LSD. Eksperimen itu mengantarkan mereka pada apa yang disebut altered states of consciousness, ketika mereka menyaksikan realita yang berbeda dengan pengetahuan yang mereka ketahui sebelumnya. Di Harvard, Timothy Learly seorang psikolog klinis yang cerdas, mencoba menggunakannya untuk memperoleh pengalaman keagamaan. Bersama kawannya, Richard Alpert ia membantu Walter Pahnke untuk mengetahui efek psilocybin pada pengalaman rohaniah.
Psikologi transpersonal merupakan kelanjutan dari Psikologi Humanistik, yang berusaha menggabungkan tradisi psikologi dengan tradisi-tradisi agama besar di dunia. Psikologi transpersonal mengambil pelajaran agama untuk mengantarkan manusia kepada kesadaran spiritual, diatas id, ego dan super ego Freud.
Agama berbicara tentang kesadaran spiritual yang luas dan multidimensional. Eksistensi psikologi kita hanyalah penampakan luar dari esensi spiritual kita. Penjelasan psikologi yang hanya berkutat pada penjelasan luar saja jelas tidak memadai. Hal ini kita ibaratkan dengan mendorong mobil yang mogok tanpa memperbaiki mesinnya, maka hasilnya pun nihil atau sia-sia. Hanya dengan memandang ke dimensi spiritual maka kita akan menemukan jawaban yang tepat untuk masalah eksitensi manusia.
Dimensi-dimensi keberagaman
Keberagamaan lebih bersifat komprehensif karena menyangkut berbagai macam dimensi diantaranya :
a. Dimensi Akidah
Seorang muslim yang religius akan memiliki ciri utama berupa aqidah yang kuat. Dimensi ini mengungkap masalah keyakinan manusia terhadap rukun iman, kebenaran beragama dan masalah-masalah gaib yang diajarkan agama. Inti ajaran aqidah dalam Islam adalah Tauhid. Esensi dari Tauhid Islam adalah pengesaan Tuhan. Tindakan pengesaan Allah sebagai Yang Maha Esa, pencipta yang mutlak dan Transenden, penguasa alam jagat raya.
b. Dimensi Ibadah (Ritual).
Ciri yang tampak dari keberagamaan seorang muslim adalah dari perilaku ibadahnya kepada Allah SWT. Dimensi ini dapat diketahui dari sejauh mana tingkat kepatuhan seseorang dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ibadah sebagaimana yang diperintahkan oleh agamanya. Dimensi ritual berkaitan dengan frekwensi dan intensitas dan pelaksanaan ibadah seseorang.
Orang Islam percaya bahwa untuk beramal sholeh ia harus melakukan pengabdian kepada Allah dan kekhidmatan kepada sesama manusia. Sehingga dalam islam ibadah dibedakan menjadi dua yaitu ibadah Mahdhah dan ghoiru mahdhah. Ibadah mahdah dipahami sebagai ibadah yang aturan dan tata caranya sudah baku. Syarat dan rukunnya telah diatur secara pasti oleh ajaran Islam. Yang termasuk dalam dimensi ini adalah shalat, puasa, zakat, ibadah haji, i‟tikaf di masjid, doa, dzikir, qurban, membaca al-Qur'an.
Ada juga yang namanya ibadah ghairu mahdah atau ibadah umum, yaitu suatu ibadah yang pelaksanaannya tidak seluruhnya dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
c. Dimensi Ihsan
Sesudah memiliki keyakinan yang kuat dan melaksanakan ajaran agama secara optimal maka terciptalah situasi ihsan. Dimensi ini berkaitan dengan seberapa jauh seseorang merasa dekat dan dilihat oleh Allah dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi ihsan menyangkut pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Allah dalam kehidupannya, juga ketenangan hidup sehingga mendorong untuk melaksanakan perintah agama.
Dalam keberagaman, Islam mencakup beberapa dimensi diantaranya perasaan dekat dengan Allah, perasaan nikmat dalam melaksanakan ibadah, merasa hanya pada Allah kita meminta pertolongan dan juga bersyukur atas segala karunia dan nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita.
d. Dimensi Pengetahuan
Dalam dimensi ini berkaitan dengan pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap ajaran
agama yang diyakininya. Sebagai seorang yang beragama paling tidak harus mengetahui hal-hal yang pokok dan mendasar dari keyakinannya, ritual-ritual dan juga kitab suci sebagai pedoman dan sekaligus sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Dimensi pengetahuan dalam Islam meliputi empat bidang diantaranya akidah, ibadah, akhlak serta pengetahuan al-Qur‟an dan hadist. Umat Islam diharapkan memiliki pengetahuan tersebut agar religiositas seseorang tidak sekedar atributif dan hanya sampai dataran simbolik exoteric.
e. Dimensi Pengamalan
Wujud dari religiusitas yang semestinya dapat diketahui adalah perilaku sosial seseorang. Jika seseorang selalu melakukan perilaku yang positif dan konstruktif kepada orang lain, dengan di motivasi agama itu adalah wujud dari keberagamaan.
Dimensi amal ini terkait dengan keadaan pemeluk agama untuk merealisasikan ajaran-ajaran agama yang diyakininya dalam kehidupan sehari-hari yang berlandaskan pada etika dan spiritualitas agama. Dimensi ini menyangkut hubungan manusia yang satu dengan manusia yang lain dan menyangkut hubungan manusia dengan alamnya.
Dalam rumusan Glock dan Srark, dimensi ini menunjukkan pada seberapa jauh seseorang dalam berprilaku di motivasi oleh ajaran-ajaran agamanya. Perilaku yang dimaksud adalah bagaimana individu berhubungan dengan dunianya, terutama dengan sesama manusia. Karena ajaran Islam memiliki sasaran pembentukan kesalehan individu dan kesalehan masyarakat, maka amal Islam memiliki sasaran bagi kebaikan individu dan sosial.
Dalam religiusitas Islam manifestasi dimensi ini meliputi ramah dan baik terhadap orang lain, memperjuangkan kebenaran dan keadilan, menolong sesama, disiplin dan menghargai waktu, bersungguh-sungguh dalam belajar dan bekerja, bertanggung jawab dan dapat dipercaya dan lain sebagainya.
d. Hubungan Antar Dimensi
Akidah pada dasarnya sudah tertanam sejak manusia ada dalam alam azali, yaitu sebelum kelahiran manusia. Pada diri manusia telah tertanam pengetahuan tentang Allah, rasa cinta kepada Allah, dan komitmen untuk melaksanakan perintahNya. Semua itu bersifat ilmiah.
Potensi tersebut dapat berkembang dengan baik jika perangkat aturan dan perilaku orang sekitar searah dengan potensi anak tersebut. Allah menciptakan agama supaya berperan membimbing dan menuntun manusia bisa mengembangkan potensi yang ada dengan maksimal.
Dengan demikian, dimensi akidah akan berkembang pesat pada lingkungan sosial yang mempraktekkan ibadah, amal, ihsan, serta menstimulasinya untuk menambah dan menguatkan penguasaan ilmu.Dengan memiliki ilmu tentang akidah, ibadah, dan ilmu tentang amal maka keyakinan dan pelaksanaan keberagamaan seseorang mencapai tingkatan yang optimal. Orang yang memiliki pengetahuan tentang ibadah sholat lebih dimungkinkan untuk beribadah untuk beribadah dengan jumlah dan frekuensi dan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang ibadah sholat.
Dan sebaliknya tanpa pengetahuan yang mapan tentang keberagamaan maka ibadah yang selama ini kita laksanakan maka hasilnya hanya sebatas ritual rutin yang tidak memiliki nilai dan tidak memiliki efek yang signifikan pada kehidupan keseharian kita, maka hasilnya pun sia-sia belaka dan tidak mengena pada sasaran, seperti yang diharapkan oleh agama itu sendiri.