Pengertian Perjanjian dalam Perkawinan - Perjanjian dalam perkawinan diliteratur fiqh klasik tidak ditemukan bahasan khusus dengan nama perjanjian dalam perkawinan. Yang ada dalam bahasan fiqh dan diteruskan dalam sebagian kitab fiqh dengan maksud yang sama adalah “Persyaratan dalam Perkawinan”. Abdul Rahman Ghazaly dalam bukunya Fiqih Munakahat mendefinikan perjanjian perkawinan sebagai persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah.
Bahasan tentang syarat dalam perkawinan tidak sama dengan syarat perkawinan yang ada dalam kitab-kitab fiqh karena yang dibahas dalam syarat perkawinan itu adalah syarat-syarat untuk sahnya suatu perkawinan. Sedangkan, syarat yang terdapat dalam perjanjian perkawinan yang dibahas disini adalah syarat-syarat tidak mempengaruhi sahnya suatu perkawinan. Kaitan antara syarat dalam perkawinan dengan perjanjian perkawinan adalah karena perjanjian itu berisi syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang melakukan perjanjian dalam arti pihak-pihak yang berjanji untuk memenuhi syarat yang ditentukan. Namun perjanjian itu tidak sama dengan sumpah, karena sumpah dimulai dengan ucapan sumpah, seperti: wallahi, billahi, tallahi, dan membawa akibat dosa bagi yang tidak memenuhi perjanjian tersebut.
Syarat atau perjanjian yang dimaksud ini dilakukan di luar prosesi akad perkawinan. Oleh karena itu perjanjian perkawinan terpisah dari akad nikah, maka tidak ada kaitan hukum antara akad nikah yang dilaksanakan secara sah dengan pelaksanan syarat yang ditentukan dalam perjanjian itu. Hal ini berarti bahwa tidak dipenuhinya perjanjian tidak menyebabkan batalnya nikah yang sudah sah. Meskipun demikian, pihak-pihak yang dirugikan dan tidak memenuhi perjanjian itu berhak mintak pembatalan perkawinan oleh syarat-syarat yang tidak dipenuhi.
|
Perjanjian Dalam Perkawinan |
Dalam hubungannya dengan
pengertian perjanjian dalam perkawinan para ahli fiqh mensyaratkan hendaknya ucapan yang dipergunakan dalam suatu ijab kabul, bersifat mutlak dan tidak disertai syarat-syarat atau perjanjian tertentu. Apabila dipersyaratkan atau diperjanjikan, maka dapat terjadi yang bermacam-macam bentuk dengan akibat hukum yang bermacam-macam pula.
Syarat-syarat yang berada dalam akad nikah atau perjanjian perkawinan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
- Syarat atau Perjanjian yang wajib dipenuhi: Syarat yang langsung berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban suami istri dalam perkawinan dan merupakan tuntutan dan tujuan dari perkawinan itu sendiri, dan tidak mengandung hal-hal yang menyalahi hukum Allah dan Rasul-Nya. Persyaratan yang sesuai dengan tujuan pernikahan dan tidak menyalah hukum islam seperti: Suami istri harus bergaul dengan baik,Suami harus memberikan nafkah untuk anak dan istrinya, istri harus melayani kebutuhan seksual suaminya dan suami harus memelihara anak yang lahir di perkawinan itu. Ulama sepakat mengatakan bahwa syarat-syarat dalam bentuk ini wajib dilaksanakan. Pihak yang terlibat atau yang berjanji wajib memenuhinya dan terikat dengan persyaratan tersebut. Namun apabila pihak yang berjanji tidak memenuhi persyaratan tersebut tidak menyebabkan perkawinan dengan sendirinya batal, resiko dari tidak memenuhi persyaratan ini ialah adanya hak bagi pihak yang dirugikan untuk menentut di pengadilan untuk batalnya perkawinan.
- Syarat tidak wajib dipenuhi: Syarat yang tidak wajib dipenuhi tetapi akad nikahnya sah, yaitu syarat yang menyalahi hukum perkawinan, seperti: Tidak memberikan belanja, tidak mau bersetubuh atau kawin tanpa memberi mahar, memisahkan diri dari istrinya, istrinya yang harus memberikan nafkah atau memberikan sesuatu hadiah kepada suaminya dan dalam seminggu hanya tinggal bersama semalam atau dengan tinggal dengan istrinya disiang hari, tidak dimalam harinya. Syarat-syrat itu semua batal dengan sendinya sebab menyalahi hukum perkawinan yang ada dan mengandung hal yang mengurangi hak-hak suami istri dalam perkawinan.
- Syarat yang hanya untuk Perempuan: Syarat-syarat yang harus dipenuhi pihak suami, yaitu syarat yang manfaat dan faedahnya kembali kepada pihak istri. Seperti, suaminya tidak boleh menyuruh dia keluar rumah atau kampung halamannya atau tidak menawannya dan sebagainya, bahkan syarat yang diajukan pihak perempuan untuk tidak dimadu. Semua persyaratan tersebut harus dipenuhi oleh pihak laki-laki yang akan menikahinya. Jika ia tidak memenuhi syarat tersebut, maka pihak wanita boleh membatalkan pernikahan.
Demikianlah
pengertian perjanjian dalam perkawinan beserta syarat-syaratnya, semoga artikel di atas dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.