Pengertian Hukuman Rajam - Dari segi etimologi, rajamadalah bentuk masdar dari kata kerja rajama yang berarti melempari batu. Terkadang rajam juga dapat diartikan dengan menerka, di dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 22 rajam dalam ayat tersebut bermakna menerka, sedangkan dalam surat al-Mulk ayat 5 bermakna alat untuk melempar batu atau marajim.
Dalam terminologi fiqih, kata rajamberarti melempari pelaku zina muhsan dengan batu atau semacamnya sampai menemui ajalnya. Dengan demikian, hukuman rajamadalah hukuman mati bagi pelaku zina muhsan. Pada umumnya fuqaha tidak berbeda pendapat dalam memberikan definisi rajam.Bahkan dalam literatur fiqh, mereka tidak lagi mempersoalkan definisi rajam tetapi langsung memasuki pembahasan soal-soal yang bersangkutan dengan rajam.
Rajam merupakan hukuman yang ditimpakan kepada pelaku zina (yang sudah kawin) dengan cara dilempari batu hingga mati. Sedangkan bagi pelaku zina yang belum kawin diberlakukan hukuman jilid (cambuk) seratus kali. Ketentuan dalam menerapkan hukuman rajam ini mendasar pada beberapa pandangan yang berhubungan erat dengan adanya sebuah hubungan seksual yang terjadi diluar pernikahan yang sah, dengan catatan latar belakang pelaku zina adalah seorang yang pernah menikah atau muhsan.
|
Hukuman Rajam |
Melihat dari sumber hukum pidana Islam, hukuman dalam Islam memiliki landasan yang sangat kokoh yakni al-Qur’an dan sunnah Nabi saw, dan bukan berdasarkan dugaan manusia semata mengenai hal-hal yang dirasa adil. Dari sisi kepastian hukum juga jelas karenamanusia dilarang mengubah hukuman yang diancam. Jadi untuk pidana yang diberi ancaman hukuman hadtidak boleh ada perubahan, perbuatan yang dilarang tetap menjadi suatu yang diharamkan sampai kapanpun. Tentunya hukuman yang di jatuhkan pun hanya dapat dilakukan, jika telah memenuhi syarat-syarat yang ketat. Dalam kasus perzinaan, perlu ditegaskan bahwa hukuman mati bagi pelaku zina muhsan, hanya dapat dilakukan setelah melalui proses pembuktian yang sangat ketat, sehingga di masa Nabi dan sahabat pun penjatuhan ini dapat dihitung dengan jari. Jelasnya alat bukti berupa empat orang saksi .
Dalam Islam, Allah adalah pemegang kedaulatan. Dia adalah penguasa dan pembuat hukum. Wahyu Tuhan dan hikmah Rasulnya adalah sumber primer dalam membangun ketertiban masyarakat, memenuhi kebutuhan dan harapan dari masyarakatyang terus tumbuh. Prinsip-prinsip serta ajaran-ajaran keadilan yang diambil dari wahyu dan hikmah suci dianggap sempurna dan tidak dapat diganggu gugat, dibuat untuk sepanjang zaman dan memiliki potensi untuk berlaku bagi seluruh manusia. Secara prinsip, hukum yang diletakkan oleh Tuhan adalah sistem yang ideal dan sempurna, dan merupakan petunjuk dan bimbingan Tuhan yang termuat dalam kitab suci Agama yang bersangkutan.
Hukuman rajam yang merupakan hukuman terberat yang dijatuhkan terhadap pelaku perzinaan yang terikat perkawinan (muhsan), merupakan hukuman yang tidak tercantum dalam al-Qur’an. Al-Qur’an hanya menyebutkan hukuman jilid seratus kalibagi pelaku perzinaan, tanpa ada pengecualian muhsanatau ghairu muhsan.
Karena kita meyakini hukuman yang ditentukan Allah dalam al-Qur’an merupakan hukuman yang pasti dan tidak diukur oleh manusia, yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. Ia ditentukan oleh Yang Maha Adil, Allah telah menentukan bahwa tidak boleh ada modifikasi dasar hukum-Nya karena perubahan waktu atautempat atau perubahan keadaan manusia.
Pada kenyataannya, keadilan dalam hukum Islam lebih sesuai dengan sifat, karakter dan keadaan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, disesuaikan dengan kadar kemampuan maksimal manusia tersebut. Hal ini juga sesuai isi dalam al-Qur’an yang menerangkan bahwa Allah tidak membebani manusia diluar kesanggupan, dan Dia lebih tahu tentang hamba-hambaNya.
Hukum Islam mempunyai beberapa maziyyah(keistimewaan) dan beberapa keindahan yang menyebabkan hukum Islam menjadi hukum yang jaya, dan paling dapat memenuhi hajat masyarakat, sehingga menjamin ketenangan dan kebahagiaan masyarakat. Ini merupakan salah satu tujuan hukum Islam agar dapat mewujudkan kemaslahatan, baik di dunia maupun akhirat, menolak kemadharatandan kemafsadatan, serta mewujudkan keaslian yang mutlak.
Hukum Islam adalah hukum kemanusiaan, dan untuk membuktikan di antara ciri khas hukum Islam, ialah : Insaniyah sebenarnya, walau syariat yang lain juga mengatakan demikian; hukum Islam adalah hukum yang sungguh memberikan perhatian yang penuh kepada manusia, baik mengenai diri, ruh, akal, aqidah, fikrah, usaha, pahala dan siksa, baik selaku anggota masyarakat. Manusialah yang menjadi sumber bagi segala hukum al-Qur’an, sunnah Rasul, ijma’, qiyas dan segala jalan-jalan yang lain untuk membina hukum dan undang-undang, dengan kata lain manusialah yang menjadi obyeknya.
Islam sangat memperhatikan manusia, karena manusia sebagai makhluk yang mulia di sisiNya. Dari pada itu didalam agama tidak membenarkan kita melecehkan kemuliaan manusia, atau mengancamnya. Jalan yang ditempuh Islam dalam menghadapi orang-orang yang bertindak jahat haruslah dituruti jalan-jalan yangtelah ditetapkan syara’ dan tidak boleh dilampaui. Hukuman-hukuman yang sudah dikatakan dalam al-Qur’an itu, ditetapkan atas dasar memelihara kemuliaan manusia yang melebihi segalanya.
Betapa pun manusia itu sesungguhnya membutuhkan keamanan bagi perjalanan sejarahnya. Hal ini dapat dicapai dengan merujuk pada agama, dalam pengertian dan cakupannya yang universal dan bersumber dari realitas yang mutlak (ultimate reality). Karena agama bersumber dari Tuhan, karenanya transenden dan absolutik, agama lebih banyak difungsikan guna memberikan kesemestaan makna (meaning universe) kehidupan manusia. Dengan demikian, agama selalu terlibat dialektika historis dengan peradaban manusia. Namun persoalannya, mampukah agama secara historis terus menerus berperan. Persoalan ini diajukan untuk mengetahui seberapa jauh relevansi dan kontekstualisasi ajaran agama menghadapi realitas sosiologi masyarakat, yang sesuai dengan wataknya senantiasa memperlihatkan kecenderungan transformatif.