Pengertian Teologi - Tauhid bukanlah akidah dalam pengertian gambaran teoritis semata-mata, melainkan sebuah “mekanisme kerja mengesankan”. Perkataan tawhiditu sendiri secara bahasa merupakan “kata benda aktif”, bukan “kata benda pasif”. Yang menunjukan kepada suatu proses, tidak menunjukan subtansi seperti halnya pada perkataan wahidyang mengacu kepada pola kata fa’il. Tauhid itu merupakan kerja emosional yang di dalamnya seorang menyatukan segala kekuatan dan kemampuannya menuju hakikat yang satu dan mutlak, serta menyeluruh dan bersifat umum, yang hanya dapat ditangkap oleh pemikiran, murni dan suci. Pada umumnya gerakan pembaruan kontemporer lebih memberikan nilai -nilai ketuhanan pada tauhid praktis daripada tauhid teoritis, dan mengubah tauhid menjadi kekuatan yang aktif di dalam menyatukan emosi masing-masing individu dan menyatupadukan keterpecahan umat.
Terkadang tauhid disandingkan dengan sifat, maka keduanya menjadi nama sebuah disiplin ilmu, yaitu “ilmu tauhid dan sifat” tema ini merupakan tema-tema ilmu yang termulia, dan “sifat” merupakan esensi akidah tauhid. Pada hakikatnya persoalan zat dan sifat menurut orang-orang terdahulu merupakan inti tauhid. namun, kekeliruan meraka terletak pada usaha mereka dalam mempersonalisasikan, membakukan, menghalangi, memadamkan, membekukannya seperti patung zat dan sifat tersebut. Sedangkan zat tersebut sebenarnya dapat membangkitkan kesadaran yang tulus, sebagaimana sifat memberikan gambaran keteladanan yang tinggi yang mendorong manusia untuk merealisasikan sifat-sifat Tuhan tersebut didalam kehidupan praksis. Oleh sebab itu, zat dan sifat mengisaratkan kerangka dasar teoritis bagi suatu perbuatan atau merupakan idiologi yang dibawa oleh wahyu untuk diterapkan dalam kehidupan praksis. Yang oleh seorang intelektual dapat ditangkap sebagai sebuah sistem ideal yang sejalan dengan pemikiran rasional dan hukum alam.
|
Apa itu Teologi? |
Ketika Islam dipancangkan sebagai agama yang mengatur aspek spiritual sebagaimana agama-agama lain, tauhid sering dipahami sebagai “Keesaan Tuhan”, sebagai argumentasi tandingan atas konsep trinitas agama Kristen. Persepsi ini tak selamanya benar. Karena ketika suatu agama dihakimi oleh nilai lain, maka yang tejadi adalah prasangka. Karena itu, menganggap tauhid semata-mata diartikan “Keesaan Tuhan”, tidak hanya persepsi yang parsial, tapi salah. Untuk memahami Islam dan Tauhid, kita memulai dari sebuah pernyataan berikut ini: Islam adalah norma kehidupan yang sempurna yang dapat beradaptasi dengan setiap bangsa dan setiap waktu. Firman Allah adalah abadi dan universal, yang mencakup seluruh aktivitas dari seluruh suasana kemanusiaan tanpa perbedaan apakah aktivitas mental atau akitivitas duniawi.
Sepanjang pemahaman kita tentang bagaimana Muslim mengartikan Islam di atas, maka analisis tentang Islam dan tauhid tidak bisahanya sebatas pada Tuhan dan mental saja, karena itu jalan terbaik untuk memahami tauhid adalah dengan mengartikannya sebagai “penyatuan” ketika gagasan ini dikembalikan kepada bidang Ketuhanan, ia akan berarti “Keesaan Tuhan” tetapi sebagaimana telah kita lihat, Islam mencakup bidang-bidang keduniawian, mental dan sekaligus ketuhanan. Dengan demikian apa yang harus kita analisis di sini adalah bagaimana Tauhid berfungsi di dalam pemikiran Muslim, dalam lembaga-lembaga sosial-politik Islam dan dalam peradaban. Pada titik ini, ada baiknya kita gunakan isti lah “pandangan dunia Tauhid”, sebagaimana pernah digunakan oleh Murtadha Mutahhari. ‘Pandangan dunia tauhid berarti bahwa alam semesta ini unipolar dan uniaxial. Pandangan dunia tauhid berart bahwa hakekat alam semesta ini berasal dari Allah (Inna Lillah) dan akan kembali kepada-Nya (inna Ilaihi raji’un).
Adapun pertayaan yang menyebabkan jiwa melayang, kebebasan terbelenggu, dan para pemikir ditekan dengan tekanan yang sangat berat, yaitu: apakah kalam Allah itu qadim (bersifat azali) atau hadits (baru)? Perbedaan pendapat ini pun sampai ke pada suatu tingkat perang dan memecah belah persatuan umat, menjadi firqah-fieqah(aliran-aliran) yang saling bertentangan, bahkan saling berperang, terutama dalam proses imamah (kepemimpinan). Memasukkan kalam kedalam tema keilmuan tidaklah lebih utama dari memasukkan subyek-subyek lain ke dalam dunia keilmuan.
Mengenai
pengertian teologi. Diskursus tentang kalam mencakup dua persoalan, apakah kalam itu sifat Allah, qadim atau hadits; atau kalam itu merupakan kalam Allah, firman Tuhan, yang diwahyukan kepada Rasullah berupa al -Qur’an. Firman Tuhan ini menjadi obyek kajian ilmu ini. Sebenarnya kalam ini, apakah “firman Allah” dengan suatu kenyakinan sebagai sumber wahyu? Atau “perkataan manusia” dengan suatu kenyakinan bahwa seorang manusia telahmenerima wahyu, membacakan wahyu dengan suaranya, memahami dengan daya akalnya, menemukan esensinya dengan berbagai percobaan, dan dan meneliti kebenaran dengan kehendaknya sendiri? Kalam dalam pengertian pertama, sebagai firman Allah, tidak mungkin diketahui dengan pengenalan yang langsung, kecuali melalui informasinya dari kalam dalam pengertian kedua, perkataan manusia yang menerima wahyu. Jadi, perkataan manusia (kalam al-insan) mengungkapkan kalam Allah, firman Tuhan, di dalam akal, hati, bahasa, dan suara manusia. Manusia menggabarkan tentang Allah, bukan pembicaraan dari Allah. Dengan demikian, sesuatu yang mungkin membicarakan kalam dengan pengertian sebagai wahyu yang terdapat dihadapan kita, yang dibaca dengan suara kita, diucapkan dengan lidah, ditulis dengan tangan, dilihat dengan mata, dipelihara di dalam dada, dipahami oleh daya nalar dan yang dapat memberi pengaruh di dalam kehidupan kita.
Apa yang dapat dideduksikan dari pandangan dunia ini adalah bahwa ada dualisme yang membagi dunia ini kepada materi dan ruh. Akhirnya, segala sesuatu akan kembali kepada Tuhan : “ kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali. “ (Q.S 2;156) disinilah kita lihat tidak ada superioritas manusia atas makhluk warga dunia yang lain. Bagi muslim “hubungan antara Tuhan dan dunia adalah hubungan antara pencipta dan yang diciptakan jadi hubungan sebab dan akibat penciptaan, bukan hubungan seperti sinar terhadap lampu atau kesadaran manusia terhadap manusia”.
Keberadaan manusia menjadi sangat relatif dihadapan Tuhan, dan setiap manusia yang diciptakan mempunyai hubungan langsung dengan Tuhan. Dalam kehidupan sosial Muslim, pandangan dunia tauhid digambarkan sebagai berikut: Dalam tauhid secara logis dapat ditarik pengertian bahwa penciptaan Tuhan adalah Esa. Ia menolak segala bentuk diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, klas, gari s keturunan, kekayaan dan kekuasaan, ia menempatkan manusia dalam kesamaan. Ia juga menyatukan antara manusia dan alam yang melengkapi penciptaan Tuhan. Keesaan Tuhanberarti juga keesaan kehidupan, yakni tidak ada pemisah anatara spiritualitas dan kewadagan, antara keagamaan dan keduniawiaan. Dengan memahami seluruh aspek kehidupan di atur oleh satu hukum, dan tujuan seluruh Muslim bersatu dalam kehendak Allah.
Dari
pengertian teologi di atas, jelaslah bahwa seluruh aspek kehidupan sosial Islam harus diintegrasikan ke dalam “jaringan relasional Islam”. Jaringan ini diderivasikan dari pandangan dunia tauhid, yang mencakuup aspek-aspek keagamaan dan keduniawian, spiritual dan material, sosial dan individual. Kita kemudian akan menguji jaringan relasional Islam itu melalui ibadah (yaitu lima pilar kewajiban Islam) yang diatur oleh Syari’ah (hukum Islam), Yakni syahadat, shalat, shaum, zakat dan haji.