Pengertian Pedagang Kaki Lima - Pedagang Kaki Lima adalah pedagang atau orang yang melakukan kegiatan atau usaha kecil tanpa didasari atas ijin dan menempati pinggiran jalan (trotoar) untuk menggelar dagangan. Menurut Sidharta, ”Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah pedagang informal yang menempati kaki lima (trotoar/pedestrian) yang keberadaannya tidak boleh mengganggu fungsi publik, baik ditinjau dari aspek sosial, fisik, visual, lingkungan dan pariwisata”.
Banyak penjelasan yang dapat ditemui jika membahas mengenai PKL. Keberadaan PKL disini sangat menarik untuk dibahas satu persatu, misalnya mengenai dampak atas keberadaan PKL maupun mengenai cara pemerintah untuk menata PKL tersebut. Sekilas PKL hanyalah pedagang biasa yang menggelar dagangannya dipinggiran jalan, akan tetapi keberadaannya sangat mengganggu kenyamanan pengguna fasilitas umum dan juga mengganggu ketertiban kota. Seperti penjelasan tentang PKL diatas, dalam hal ini Widjajanti menjelaskan bahwa: Istilah PKL erat kaitannya dengan istilah di Perancis tentang pedestrian untuk pejalan kaki di sepanjang jalannya, yaitu Trotoir.Di sepanjang jalan raya kebanyakan berdiri bangunan bertingkat. Pada lantai paling bawah biasanya disediakan ruang untuk pejalan kaki (trotoar) selebar 5 kaki. Pada perkembangan berikutnya para pedagang informal akan menempati trotoir tersebut, sehingga disebut dengan istilah Pedagang Lima Kaki, sedangkan di Indonesia disebut Pedagang Kaki Lima atau PKL.
Menurut Bromley, sebagaimana dikutip oleh Mulyanto, ”
Pedagang Kaki Lima (PKL), merupakan kelompok tenaga kerja yang banyak di sektor informal”. Pekerjaan pedagang kaki lima merupakan jawaban terakhir yang berhadapan dengan proses urbanisasi yang berangkaiandengan migrasi dari desa ke kota yang besar, pertumbuhan penduduk yang pesat, pertumbuhan kesempatan kerja yang lambat di sektor industri, dan penyerapan teknologi yang padat moral, serta keberadaan tenaga kerja yang berlebihan.
|
PKL di Thailand |
Sementara itu Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan PKL, khususnya Pasal 1ayat (8) PKL didefinisikan sebagai berikut:
Pedagang Kaki Lima, yang selanjutnya disingkat PKL adalah pedagang yang menjalankan kegiatan usaha dagang dan jasa formal dalam waktu yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sebagai tempat usahanya, baik dengan menggunakan sarana atau perlengkapan yang mudah dipindahkan, dan atau dibongkar pasang.
Pedagang Kaki Lima merupakan usaha yang dijalankan dengan mandiri. Kemandirian tersebut sudah ada sejak awal munculnya PKL tersebut. Namun, Bila melihat sejarah dari permulaan adanya Pedagang kaki lima, PKL atau pedagang kaki lima sudah ada sejak masa penjajahan Kolonial Belanda. Pemerintah pada waktu itu juga menghimbau agar sebelah luar trotoar diberi ruang yang agak lebar atau agak jauh dari pemukiman penduduk untuk dijadikan taman sebagai penghijauan dan resapan air.
Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) dalam membuka usaha di trotoar tampak dilematis sebab mengganggu kenyamanan para pengguna jalan. Dalam hal ini pemerintah harus lebih teliti dalam mengambil tindakan dan juga menegakkan peraturan. Lapangan pekerjaan yang sulit juga mendukung maraknya pedagang kaki lima (PKL) yang merupakan alih profesi akibat PHK dan lain sebagainya.
Meskipun banyak yang beranggapan bahwa PKL merupakan suatu komunitas pengganggu ketertiban, tidak selamanya anggapan tersebut benar. PKL juga dapat bersifat mandiri dalam menjalankan usahanya, bahkan dapat dikatakan jika PKL tersebut cenderung kreatif dengan memunculkan terobosan baru yang unik dalam usaha pengembangan dagangannya. Kemandirian PKL dinilai dapat memacu pendapatan mereka yang semula rendah menjadi menengah. Kegiatan perdagangan disini juga membuka kesempatan kerja bagi pelaku-pelaku lainnya untuk beusaha.
Bukan hanya untuk memandirikan kehidupan PKL itu sendiri, akan tetapi dalam prakteknya PKL merupakan salah satu penyumbang perputaran ekonomi di suatu daerah. Walaupun unit usahanya kecil, namun apabila PKL dikumpulkan akan mempunyai nilai tinggi bagi
perkembangan ekonomi daerah. Sebagai suatu bentuk usaha yang dijalankan oleh masyarakat, ”PKL mempunyai karakteristik, diantaranya adalah (i) modal usaha terbatas/kecil, (ii) waktu tidak teratur, (iii) tempat tidak permanen, (iv) pelanggan pada umumnya menengah kebawah, (v) tidak ada keterkaitan dengan usaha lain dan bersifat kompetitif”.
Karakteristik bentuk usaha PKL tersebut dapat memunculkan PKL baru di kawasan perkotaan. Hal ini diakibatkan ketidakseimbangan pembangunan antara pedesaan dan perkotaan. Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan peluang pekerjaan yang diharapkan di perkotaan semakin sempit, ditambah dengan banyaknya lapangan pekerjaan outsourching yang tidak ada kepastian kesejahteraannya. Hal tersebut menjadi salah satu faktor munculnya sektor informal (PKL) yang diciptakan oleh mereka untuk mencukupi kebutuhan mereka dan mendapatkan kesejahteraan.
Menurut Herlianto ”Sektor informal dalam hal ini PKL, merupakan sebuah sektor yang tidak diharapkan, padahal kenyataannya sektor ini adalah sektor yang lahir dari pertumbuhan ekonomi kota dan produk urbanisasi yang terjadi di negara yang sedang berkembang. Berdatangannya para pendatang ke kota yang sebagian besar tanpa dibekali dengan keterampilan dan pendidikan yang cukup, hal ini menumbuhkan suatu masyarakat lapisan bawah yang umumnya berkecimpung di sektor informal”.
PKL sebagai produk urbanisasi yang timbul tanpa adanya suatu pembekalan yang khusus, menimbulkan anggapan dari masyarakat luas sebagai suatu bentuk ketimpangan pembangunan. Berkembangnya PKL menciptakan suatu aktivitas PKL yang beragam setiap harinya. Aktivitas PKL timbul karena tidak terpenuhinya kebutuhan pelayanan oleh formal.
Aktivitasnya sering dianggap menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat serta sering dipojokkan sebagai penyebab timbulnya berbagai permasalahan seperti mengganggu pergerakkan pejalan kaki atau menyebabkan kemacetan lalu lintas.
Dalam melakukakan aktivitasnya, PKL memilih ruang yang mudah dicapai orang seperti trotoar dan ruang publik. Ruang terbuka publik yang seharusnya berfungsi sebagai ruang sosial bagi masyarakat sekarang berubah menjadi kawasan komersial. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknnya pedagang kaki lima yang memanfaatkan ruang terbuka publik sebagai ruang aktivitasnya. Keberadaan PKL ini tentunya akan mengurangi peran ruang terbuka publik, meskipun keberadaan PKL ini sebenarnya menjadi salah satu faktor pendukung aktivitas di ruang terbuka publik.
Padahal dalam kasus ini PKL juga memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah yang tidak sedikit bagi Kota Surakarta. Hal ini bisa dilihat dari jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surakarta yang disumbangkan dari retribusi PKL pada Tahun 2009 sebesar 234.452.800 (4,5%) dari Total PAD sebesar 106.759.419.000 (APBD Kota Surakarta, 2009).