Pengertian Puisi - Puisi merupakan bentuk sastra yang paling padat dan terkonsentrasi. Kepadatan komposisi tersebut ditandai dengan pemakaian sedikit kata, namunmengungkapkan lebih banyak hal. Sebab itu puisi dapat sebagai berikut: “Puisi dapat didefenisikan sebagai sejenis bahasa yang mengatakan lebih banyak dan lebih intensif daripada apa yang dikatakan oleh bahasa harian”.
Puisi adalah pengekspresian pemikiran yang membangkitkan perasaan yang merangsang imajinasi pancaindra dalam susunan yang berirama. Perngertian puisi di atas mencakup arti cukup luas karena menafsirkan puisi sebagai hasil penjaringan penglaman yang dapat atau dialami oleh seseorang. Dan menyusunnya secara sistematis sebagai makna satu dan yang lainnya.
Dari pengertian di atas juga diartikan bahwa puisi merupakan karya seniyang erat hubungannya dengan bahasa dan jiwa. Tersusun dengan kata-kata yang baik sebagai hasil curahan lewat media tulis yang bersifat imajinatif oleh pengarangnya untuk menyoroti aspek kehidupan yang dialaminya.
Atas dasar itulah penulis mengemukakan bahwa puisi pada hakikatnya adalah curahan perasaan si penciptanya sehingga keberadaan suatu puisi tidak terlepas dari keberadaan pikiran, perasaan, dan lingkungan si penciptannya.
|
Puisi |
Jika seseorang menyelami sebuah puisi, berarti ia berusaha mencari siapa dan bagaimana keberadaan penciptanya atau penyairnya. Oleh sebab itu, mendeklamasikan puisi tidak lain dari mengepresikan makna sesuai dengan cita rasa penyairnya.
Ditinjau dari pendekatan intuisi, puisi merupakan hasil karya yang mengandung pancaran kebenaran dan dapat diterima secara universal. Karenanya, karya puisi sangat dekat dengan lingkungannya, mudah diketahui bahkan sudah diketahui dan bukan sebaliknya menimbulkan keanehan atau bahkan kekaburan.
Penjelmaan kembali suatu peristiwa yang tercurah lewat karya tulis puisi merupakan proses imajinasi yang matang yang berhasil lahir dengan energik dan alami.Untuk memberikan batasan pada puisi sangatlah sukar dilakukan secara pasti.
Puisi mempunyai rangkaian unsur-unsur yang apabila salah satunya hilang atau terlepas, maka akan mengurangi makna universal yang terkandung dalam sebuah puisi.
Jadi secara psikologi sebuah karya sastra merupakan sebuah penuangan yang disengaja atas sesuatu peristiwa masa lalu ataupun sebuah harapan. Dorongan kuat yang di akibatkan oleh sesuatu motivasi penulisan baik yang memperindah peristiwa dan harapan tersebut atau bahkan hanya sekedar mengenang peristiwa masa lalu dengan bentuk tertulis. Tentunya memiliki sebuah alasan yang real semisal sebagai media untuk mengoreksi diri serta membentuk konsep diri yang lebih baik.
Namun dalam kacamata tasawuf Puisi merupakan ungkapan-ungkapan puitis dijadikan media ekpresi dari perjalan spiritualitas, bahkan menjadi bagian dari ritus peribadatan. Kerena memiliki beberapa keuntungan sebagaimana mistisisme, puisi memang terutama bertalian dengan pengalaman batin manusi yang terdalam.seperti halnya puisi, pengalaman mistik itu sangat personal, unik sekaligus universal. Bahkan, dapat dinyatakan bahwa pengalaman mistik itu selalu megandung kualitas puitis atau estetik yang dalam juga memiliki kualitas mistik. Pengalaman relegius demikian—pinjam pengertian Ludwig Wittgentein—dalam kenyataannya tak pernah bisa ditunjuk secara langsung sebab bukan pengalaman indrawi. Sementara itu, bahasa mempunyai keterbatasan hanya dapat mengungkapkan apa yang menjadi realitas indrawi. Karenanya, ada realitas yang dapat disentuh dengan bahasa, danada yang tidak (the unutterable). Meskipun begitu,ada yang disebut bahasa relegius, yang punya logikatersendiri, seperti pernah di unggkapakan Peter L.Berger. Bahasa relegius bersifat analogi, sebagain sama dan sebagain berbeda dengan bahasa dan situasi manusia sehari-hari. Disamping itu, pengalaman relegius menurut Ludwig Wittgenstein bersifat konatif, yakni pengalaman yang dialami secara langsung antara subjek dan objek, berlangsung dalamtaraf tak sadar, dan karenanya berlangsung tanpa bahasa. Tetapi, saat subjek membahasakan pengalaman relegiusnya, maka aspek konatif itu masuk ke aspek reflektif, yakni pengalaman relegius yang telah terabtraksikan ke pola indrawi. Perpindahan ini dalam bahsa relegius berlangsung dengan jalan analogi. Oleh sebab itu, melalui puisi yang berasil, kepersonal, keunikan, dan keuniversalan dapat terpelihara dengan baik.
Sehingga sisi psikologi masa lalu tidak bisa akan terlepas, sepertihalnya kematangan umur maupun lingkungan. Semisal para sufi mendapatkan pengalaman sprituaklnya sekitar umur 30 keatas. Karena unsur keyakinan terhadap ajaran agama dan unsur pelaksanaan ajaran agama sudah terealisasi dengan berbagaigodaan-godaan. Semisal pola fikir kesadaran diri, penalaran, dan imajinasi, telah merusak / merobek keharmonisan manusia sebagai layaknya karena manusia bisa menjadi menyimpang dan menjadi aneh. Ia merupakan bagian dari alam, yang tunduk pada hukum alam yang fisikal dan mekanistik yang tidak bisa diubah. Akan tetapi, ia menhatasi rest of nature. Ia merupakan perangkat bagian dari being, keberadaan ruang dan waktu yang lebih besar dalam satu sistem jagad raya. Dengan penalaran yang semakin membutakan manusia karena sebuah eksistensi yang belum juga terpecahkan.
Sehingga pada titik tertentu manusia akan menggunakan daya fikirnya yang mengalami keterbatasan. Hal semcam inilah yang membuat manusia kembali pencarian terhadap diluar kempuan dirinya—Tuhan.
Pada bidang puisi, banyak para sufi yang juga sekaligus penyair yang kemudian menyenandung cinta ilahi, seperti Abu Sa’id bin Abi al-Khair, al-Jilli, Ibnu al-Faridh, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Hingga sekarang, para penyair sufi kontemporer masih banyak yang menyenandungkan puisi-puisi cinta ilahi.