Pengertian Syukur – Arti syukur secara terminology berasal dari kata bahasa Arab, berasal dari kata “syakaro-yasykuru-syukron” yang berarti berterima kasih kepada atau dari kata lain “syukron” yang berati pujian atau ucapan terima kasih atau peryataan terima kasih. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia syukur memiliki dua arti yang pertama, syukur berarti rasa berterima kasih kepada Allah dan yang kedua, syukur berarti untunglah atau merasa lega atau senang dan lain-lain.
Secara kebahasaan, asy-syukur berarti ucapan, perbuatan, sikap terima kasih (al-hamd), dan pujian. Dalam ilmu tasawuf, istilah syukur berarti ucapan, sikap, dan perbuatan terima kasih kepada Allah SWT., dan pengakuan yang tulus atas nikmat dan karunia yang diberikan-Nya.
Secara istilah syar‟i, arti syukur bertumpu pada tiga sendi, yaitu syukur dengan hati, lisan, dan anggota badan. Definisi syukur menurut Al -Qur'an adalah ungkapan terima kasih atas nikmat-nikmat yang telah diberikan, dengan jalan menggunakan nikmat-nikmat tersebut sebagai sarana beribadah kepada Allah. Dalam konteks ini, menggali kebenaran ilmu pengetahuan dan
agama termasuk ibadah, jika diiringi niat untuk menemukan kebesaran Allah yang ada pada alam raya ini. Dengan kata lain, tujuan semua itu untuk menambah keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta.
Bersyukur mempunyai nilai yang sangat besar dan mengandung faedah yang banyak. Maka syukur dipertahankan dan diamalkan dengan sungguh -sungguh, tidak boleh dilalaikan dan dianggap remeh. Sebab syukur merupakan satu permata yang tidak ternilai harganya, yang sangat jarang diberikan kepada manusia, sebab kebanyakan manusia tidak mau bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat yang telah diberikan-Nya. Padahal Allah sendiri memberi taufik dengan karunia dan rahmat-Nya.
|
Syukur Alhamdulillah |
Sedangkan salah satu kutipan lain menjelaskan bahwa syukur adalah gambaran dalam benak tetang nikmat dan menampakkannya ke permukaan. Lain hal dengan sebagaian ulama yang menjelaskan syukur berasal dari kata “syakara” yang berarti membuka yang dilawan dengan kata “kufur” yang berarti „‟menutup atau melupakan segala nikmat dan menutup-nutupinya. Hal ini berdasarkan ayat 7 surat Ibrahim sebagai berikut:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni‟mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni‟mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (Q.S. Ibrahim:7)
Al Maraghi dalam bukunya -Tafsir Al Maraghi- mengawali pembahasan ayat ini dengan perkataan “Dan ingatlah, hai bani Israil, ketika Allah memaklumkan janji-Nya kepada kalian dengan berfirman jika kalian mensyukuri nikmat penyelamat dan lain-lain yang aku berikan kepada kalian, dengan menta‟ati Ku dalam segala perintah dan larangan, niscaya Aku akan menambah nikmat yang telah Ku berikan kepada kalian”.
Beliau menganalogikan syukur sebagai berikut: “Bila anggota tubuh dilatih terus menerus untuk bekerja dan berbuat, maka dapat dipastikan akan bertambah kuat dan sehat. Tetapi apabila diberhentikan, maka akan melemahlah ia dan berkuranglah tenaganya. Sama halnya dengan syukur nikmat, bila kita terus menerus mensyukurinya, maka kita akan merasakan hal yang lebih besar dan banyak. Tetapi bila kita berhenti -tidak bersyukur-, maka ia akan berkurang.
Intinya bahwa barang siapa bersyukur kepada Allah atas rezeki yang dilimpahkan kepadanya, maka Allah akan melapangkan rezekinya. Barang siapa bersyukur atas nikmat kesehatan, maka Allah akan menambah kesehatannya. Dan begitulah seterusnya.
Tidak jauh berbeda dengan Al Maraghi, Hamka di dalam bukunya -Tafsir Al Azhar- juga menjelaskan bahwa yang menjadi mukhatab dari ayat di atas adalah Bani Israil setelah dibebaskan dari penindasan Fir‟aun. Kebebasan ini merupakan hal yang patut disyukuri. Dalam beryukur tetaplah berusaha guna mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Hamka menyebutkan bahwa kaum Bani Israil harus dapat bangkit kembali tanpa mengeluh atas nikmat yang menurut mereka sangat sedikit dan terbatas. Bila mengeluh -ini kurang, itu tidak cukup- maka itulah yang disebut dengan kufur, melupakan nikmat Tuhan, tidak tau terimakasih.
Sementara Quraish Shihab dalam buku tafsirnya “Tafsir Al Misbah” menafsirkan ayat ini dengan memulai perkataan Musa kepada kaumnya: “Dan ingat jugalah nikmat Allah kepada kamu semua tatkala Tuhan pemelihara dan penganugerah aneka kebajikan kepada kamu memaklumkan: “Sesungguhnya Aku, yakni Allah bersumpah demi kekuasaan-Ku, jika kamu bersyukur pasti Aku tambah nikmat-nikmat-Ku kepada kamu karena sungguh nikmat-Ku amat melimpah. Karena itu berharaplah yang banyak dari-Ku dengan mensyukurinya dan jika kamu kufur, yakni mengingkari nikmat-nikmat yang telah aku anugerahkan, dengan tidak menggunakan dan memanfaatkannya sebagaimana Aku kehendaki, maka akan Aku kurangi nikmat itu bahkan kamu terancam mendapat siksa-Ku sesengguhnya siksa-Ku dengan berkurang atau hilangnya nikmat itu, atau jatuhnya petaka atas kamu akan kamu rasakan amat pedih.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ayat di atas secara tegas menyatakan bahwa jika bersyukur maka pasti nikmat Allah akan ditambah, tetapi ketika berbicara tentang kufur nikmat, tidak ada penegasan ba hwa pasti siksa-Nya akan jatuh. Ayat ini hanya menegaskan bahwa siksa Allah amatlah pedih. Dengan demikian, penggalan akhir ayat ini dapat dipahami hanya sekedar ancaman. Di sisi lain, tidak tertutup kemungkinan keterhindaran dari siksa duniawi bagi yang mengkufuri nikmat Allah, bahkan boleh jadi nikmat tersebut ditambah-Nya dalam rangka mengulur kedurhakaan.
Hakikat syukur adalah menampakkan nikmat antara lain menggunakannya pada tempatnya dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut pemberinya dengan baik. Ini berarti setiap nikmat yang dianugerahkan Allah, menuntut perenungan, untuk apa ia dianugerahkan-Nya, lalu menggunakan nikmat tersebut dengan tujuan penganugerahannya.
Serta dalam surat An-Naml ayat 40 yang dilakukan oleh nabi sulaiman as sebagai berikut:
“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan ni‟mat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa y ang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.(Q.S. An-Naml:40)
Apapun yang di pikirkan, di ucapkan, dan di lakukan, maka akibatnya akan kembali kepada manusia sendiri. Demikian juga dalam masalah syukur. Ketika bersyukur, maka akibatnya akan kembali kepada diri sendiri, seperti hanya dalam proses di dunia ini yang selalu dialektis, maka syukur pun bersifat dielektif. Maksud disini. Bersyukur, maka itu sebagai sebab sehingga memperoleh kenikmatan berupa kenyamanan dan kententraman dalam batin,. Kententraman dan kenyamanan dalam batin merupakan akibat sekaligus sebab yang akan membawa kepadaakibat selanjutnya. Akibat selanjutnya menjadi sebab yang akan menyebabkan hasil selanjutnya. Inilah proses dielektif dalam syukur yang di dasari atas sebab akibat.
Jadi hakikat syukur yang sebenarnya adalah "menampakan nikmat dengan artian bahwa syukur adalah menggunakan pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya".