Pengertian Tindak Pidana Perkosaan - Wahid mengatakan bahwa, “Perkosaan berasal dari kata latin “rapere” yang berarti mencuri, merampas atau membawa pergi. Pada perkosaan, korban diperlakukan sebagai objek dan bukan sebagai individu, sehingga terjadi kehilangan harga diri dan kepercayaan diri”.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan Badudu dan Zain pengertian perkosaan dilihat dari asal kata yang dapat diuraikan sebagai berikut: perkosa, memperkosa : 1) mengambil, memiliki punya orang dengan paksa dan dengan kekuatan atau kekuasaan. 2) menggagahi, menyebadani seorang dengan paksa dan kekerasan. 3) melanggar dengan sengaja tak mau mematuhi. Pemerkosaan adalah hal, cara atau hasil kerja memperkosa.
Prodjodikoro mengungkapkan perkosaan adalah “Seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu.”
Sedangkan
R.Sugandhi mengemukakan bahwa perkosaan adalah “Sesorang pria yang memaksa pada seseorang yang bukan istrinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air mani.”
Lamintang dan Samosir yang dimaksud dengan perkosaan adalah “Perbuatan seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita untuk melakukan hubungan di luar ikatan perkawinan dengan dirinya.”
Tindak pidana perkosaan menurut Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
|
Stop 'perkosaan' |
Wahid menyebutkan bahwa unsur-unsur dari Pasal 285 KUHP adalah:
1. Barang siapa
2. Dengan kekerasan atau dengan ancaman
3. Dengan ancaman kekerasan
4. Memaksa
5. Seorang wanita (diluar perkawinan)
6. Bersetubuh dengan dia
Penjelasan dari unsur-unsur tersebut yakni :
1. Unsur barang siapa (subyek tindak pidana) dalam Kitab Udang-undang Hukum Pidana dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “barang siapa” adalah orang atau manusia.
2. Unsur kekerasan adalah kekuatan fisik atau perbuatan fisik yang menyebabkan orang lain secara fisik tidak berdaya tidak mampu melakukan perlawanan atau pembelaan. Wujud dari kekerasan dalam tindak pidana perkosaan antara lain bisa berupa perbuatan mendekap, mengikat, membius, menindih, memegang, melukai secara fisik sehingga menyebabkan orang tersebut tidak berdaya. Unsur dengan ancaman adalah menyerang secara psikis (psikologis) korban.
3. Unsur ancaman kekerasan adalah serangan psikis yang menyebabkan orang menjadi ketakutan sehingga tidak mampu melakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belum diwujudkan tapi yang menyebabkan orang yang terkena tidak mempunyai pilihan selain mengikuti kehendak orang yang mengancam dengan kekerasan.
4. Unsur memaksa dalam perkosaan menenjukkan adanya pertentangan kehendak antara pelaku dengan korban, pelaku ingin bersetubuh sementara korban tidak ingin. Tidak akan ada perkosaan apabila tidak ada pemaksaan dalam arti hubungan itu dilakukan atas dasar suka sama suka. Sebagaimana juga tidak akan nada kekerasan atau ancaman kekerasan bila tidak ada pemaksaan.
5. Unsur bahwa yang dipaksa untuk bersetubuh adalah wanita diluar perkawinan atau tidak terikat perkawinan dengan pelaku. Dari adanya unsur ini dapat disimpulkan bahwa:
a. Perkosaan hanya terjadi oleh laki-laki terhadap wanita
b. Tidak ada perkosaan untuk bersetubuh oleh wanita terhadap laki-laki, laki-laki terhadap laki-laki atau wanita terhadap wanita.
c. Tidak ada perkosaan untuk bersetubuh bila dilakukan oleh laki-laki yang terikat perkawinan dengan wanita yang menjadi korban atau tidak ada perkosaan untuk bersetubuh oleh suami terhadap istri.
6. Untuk selesainya tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh maka harus terjadi persetubuhan antara pelaku dengan korban, dalam arti tidak ada tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh manakala tidak terjadi persetubuhan.
Menurut Kriminolog Mulyana W. Kusuma menyebutkan macam-macam perkosaan sebagai berikut:
a. Sadistic rape
Perkosaan sadistis, artinya pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak.
b. Angea rape
Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan marah yang tertahan.
c. Dononation rape
Yakni suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigihatas kekuatan korban
d. Seduktive rape
Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh kesenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa mempunyai rasa bersalah jika menyangkut seks.
e. Victim Precipitatied rape
Yakni perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.
f. Exploitation rape
Perkosaan yang menunjukan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita yang bergantung padanya secara ekonomi dan sosial.
Karakteristik Tindak Pidana Perkosaan
Karakteristik utama (khusus) tindak pidana perkosaan menurut Kadish yaitu bukan ekspresi agresivitas seksual tapi ekspresi seksual seksual agresivitas. Karakteristik umum tindak pidana perkosaan:
a. Agresivitas, merupakan sifat yang melekat pada setiap tindak pidana perkosaan.
b. Motivasi kekerasan lebih menonjol dibandingkan dengan motivasi seksualitas
c. Secara psikologis, tindak pidana perkosaan lebih banyak mengandung masalah kontrol dan kebencian dibandingkan dengan hawa nafsu.
d. Tindak pidana perkosaan dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk yaitu; anger rape, power rape, dan sadistis rape. Dan ini direduksi dari anger and violation, control and domination, erotis.
e. Ciri pelaku perkosaan: mispersepsi pelaku atas korban, mengalami pengalaman buruk khusunya dalam hubungan personal (cinta), terasing dalam pergaulan sosial, rendah diri, ada ketidakseimbangan emosional.
f. Korban perkosaan adalah partisipasif, terjadi karena kelalaian (partisipasi) korban.
Korban perkosaan merupakan korban praktik kekerasan yang dilakukan pelaku. Pihak pemerkosa telah menggunakan ancaman dan kekerasan (paksaan) untuk mendudukan korban. Korban dibuat takut sehingga tidak berani melawan, atau dibuat tidak berdaya sehingga mau mengikuti kehendak pelaku. Kejahatan perkosaan dapat dilakukan secara individual maupun kelompok, terutama yang direncanakan, didahului oleh suatu modus operandi. Modus operandi kejahatan perkosaan yaitu 1) Diancam dan dipaksa, 2) Dirayu, 3) Dibunuh, 4) Diberi Obat Bius, 5) Diberi obat perangsang, 6) Dibohongi atau diperdaya dan lainnya.
Modus operandi perkosaan sangat mungkin kemudian hari dapat berkembang dan dapat bermodus operandi lain lagi. Karena, modus operandi kejahatan itu, selain terkait dengan posisi korban atau objek yang menjadi sasarannya, juga terkait dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang terjadi dan bergolak ditengah masyarakat. Artinya, ada saja jenis dan modus operandi baru di dunia kejahatan, karena beradaptasi dengan perkembangan yang ada.
Menurut Muhammad Irfan mengatakan bahwa, “Diberbagai kasus perkosaan sering terjadi pelaku selain melakukan penganiayaan seksual, juga dibumbui dengan berbagai tindak kejahatan lain, seperti perampokan harta benda dan bahkan kadang pembunuhan.”
Menurut Muhammad Irfan faktor penyebab perkosaan setidak-tidaknya adalah sebagai berikut:
a. Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai etika berpakaian yang menutupi aurat, yang dapat merangsang pihak lain untuk berbuat tidak senonoh dan jahat.
b. Gaya hidup atau mode pergaulan di antara laki-laki dengan perempuan yang semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang dalam hubungannya dengan kaedah dan ahklak mengenai hubungan laki-laki dengan perempuan.
c. Rendahnya pengalaman dan penghayatan terhadap norma-norma keagaman yang terjadi di tengah masyarakat. Nilai-nilai keagaman semakin terkikis dengan meniadakan peran agama.
d. Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah, artinya berbagai perilaku yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukum dan norma keagamaan kurang mendapatkan respon dam pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.
e. Putusan hakim yang terasa tidak adil, seperti putusan yang cukup ringan dijatuhkan pada pelaku. Hal ini dimungkinkan dapat mendorong anggota-anggota masyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya, saat hendak berbuat jahat tidak merasa takut lagi dengan sanksi hukum yang akan diterimanya.
f. Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan dan menuntut untuk dicarikan kompensasi pemuasnya
g. Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam terhadap sikap, ucapan (keputusan) dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikan.