Nilai adalah kualitas atau sifat yang membuat apa yang bernilai jadi bernilai. Apa yang bernilai adalah tindakan atau hubungan sebuah kenyataan dalam dunia ini.
Max Scheler berpendapat bahwa nilai merupakan suatu kualitas yang tidak tergantung pada pembawanya, merupakan kualitas apriori (yang telah dapat dirasakan manusia tanpa melalui pengalaman indrawi terlebih dahulu). Tidak tergantung kualitas tersebut tidak hanya pada obyek yang ada didunia ini (misalnya lukisan patung tindakan manusiadan sebagainya), melainkan juga tidak tergantung pada reaksi kita terhadap benda dan nilai.
Nilai merupakan kualitas yang tidak tergantung, dan tidak berubah seiring dengan perubahan barang. Sebagaimana warna biru tidak berubah menjadi merah ketika suatu objek berwarna birudicat menjadi merah, demikian pula tetap tidak berubah oleh perubahan yang terjadi pada objek yang memuat nilai bersangkutan. Sebagai contoh, pengkhianatan teman saya tidak mengubah nilai persahabatan. Tidak tergantungnya nilai mengandung arti juga bahwa nilai tidak dapat berubah. Nilai bersifatabsolut, tidak dipersyaratkan oleh suatu tindakan, tidak memandang keberadaan alamiahnya, baik secara historis, sosiala biologis ataupun individu murni. Hanya pengetahuan kita tentang nilai bersifat relatif, bukan nilai itu sendiri.
Objektivitas aksiologis Max Scheler terkait sangat kuat dengan absolitismenya. Ia menolak segala teori realif mulai dari pandangan bahwa nilai memiliki keberadaannya berhubugan dengan manusia dan faktor psikis atau pesikofisiknya. Max Scheler percaya bahwa teori yang menyatakan bawah keberadaan nilai tergantung pada pesikofisik manusia adalah absurd (tidak masuk akal). Namun Max Scheler berpendapat bahwa keberadaan nilai tidak tergantung sama sekali pada pemahaman subjek, dengan demikian jelas bahwa keberadaan nilai tidak tergantung pada kemampuan manusia untuk menangkap dan merasakannya. Keberadaan ini bagi Max Scheler merupakan suatu intuisi dasar.
Max Scheler juga menolak ketergantungan nilai pada realitas kehidupan. Ia menyebutkan bahwa jika nilai tergantung pada kehidupan, hal ini akan meniadakan kemungkinan untuk dapat menambahkan nilai pada kehidupan itu sendiri. Kehidupan merupakan suatu fakta, yang tidak dengan sendirinya terkait dengan nilai. Nilai merupakan suatu yang ditambahkan untuk diwujudkan dalam kehidupan. Ia juga menolak teori yang mengakui relativitas histories nilai. Menurut Max Scheler relativitas histories mencoba mengasalkan nilai dari objek nilai histories yang merupakan hasil histories dan akibtanya nilai menjadi subjek bagi perubahan. Hal ini salah sebab tidak memperhitungkan ketidak ketergantungan nilai, dan mencampuradukkan antara objek atau barang bernilai dengan nilai yang memiliki standar berbeda. Nilai harus dipahami sebagi yang bersifat absolute, tetap dan tidak berubah serta tidak tergantung pada dunia indrawi yang selalu berubah dalam sejarah.
Max Scheler juga berpendapat bahwa suatu nilai tidak dapat direduksikan atau dikembalikan pada ungkapan suatu perasaan. Kita kerap memahami nilai sebagai yang tidak tergantung pada perasaan yang kita alam. Dengan demikian kita dapat menangkap keberadaan suatu nilai moral pada musuh kita secara objektif kita tidak mesti memberi nilai moral negatif pada musuh kita.
Max Scheler tidak percaya bahwa nilai harus dicari dalam kenyataan objek ideal sebagaiman bilangan dan gambar geometris berada. Benarlah bahwa konsep kebaikan hati konsep keindahan konsep kesenangan dan konsep lainya berada pada kenyataan ideal sedangkan nilai moral serta nilai artinnya tidak dibatasi keberadaannya pada konsep atau wilayah pengertian ideal. Menurut Max Scheler perbedaan harus dibuat antara konsep tentang suatu nilai dengan nilainya itu sendiri, misalnya anak yang berumur enam bulan dapat mengalami nilai kebaikan hati ibunya, meskipun belum memiliki suatu konsep tentang kebaikan. Jelas disini bahwa yang dialami dan dirasakan anak tadi bukan konsep nilai kebaikan melainkan nilai kebaikan. Sebaliknya, Plato menolak keberadaan nilai negatif dengan memperhatikan kaburukan yang hanya merupakan penampakan dihadapan realitas kebaikan yang sepenuh-penuhnya.
Semua nilai estetik pada dasarnya adalah nilai objek merupakan nilai yang melekat pada realitas bersangkutan realitas estetik semacam itu ada sebagai suatu yang tampak. Hal tersebut merupakan nilai objek sebab memiliki keserupaan dengan gambar yang diintuisi yang ditangkap dan dirasakan secara langsung dari realita bersangkutan. Dilain pihak, nilai etis adalah nilai yang membawahnya tidak pernah sebagai objek sebab secara hakiki berada dalam dunia peribadi. Baik pribadi maupun tindakan tidak pernah merupakan objek bagi kita. Dan jika kita cenderung mengobjektivikasikan manusia dengan cara apa pun, maka mnausia sebagai pembawa nilai moral akan kehilangan artinya maknanya. Nilai etika dimiliki oleh pribadi pembawa nilai sebagai sesuatu yang nyata mengenai dan berpengaruh pada pribadi bersangkutan, tidak hanya sekedar merupakan objek gambaran saja.
Nilai pribadi berkaitan dengan pribadi sendiri tanpa perantara apa pun, sedangkan nilai barang menyangkut kehadiran nilai dalam hal bernilai. Hal bernilai mungkin material (hal yang menyenangkan, hal yang berguna), vital (segala hal yang bersifat ekonomis), atau spiritual (ilmu pengetahuan dan seni) yang juga disebut budaya. Berbeda dengan nilai-nilai barang tersebut yang melekat pada barang-barang bernilai, terdapat dua jenis nilai yang dimiliki dan melekat pada pribadi manusia, yaitu nilai pribadi itu sendiri, dan nilai keutamaan. Dalam pengertian ini, nilai pribadi lebih tinggi dari pada nilai-nilai barang karena nilai pribadi terletak dan mebentuk hakikat atau esensi pribadi yang bersangkutan.
Masih ada pembawa nilai lainnya, yaitu tindakan (tindakan memahami, mencintai, membenci, dan menginginkan), fungsi (pendengaran, penglihatan), dan tanggapan atau reaksi (bergembira akan sesuatu). Pembawa nilai yang terakhir ini juga memuat tanggapan terhadap pribadi manusia, seperti ikut merasakan, balas dendam, yang berbeda dengan tindakan spontan. Ketiga pembawa nilai ini termasuk dalam nilai pribadi. Ketigannya memiliki hubungan hierarkis (bertingkat). Nilai tindakan lebih tinggi dari pada nilai fungsi, dan kedua nilai ini lebih tinggi dari pada nilai tanggapan.
Karena seluruh nilai pada dasarnya berada dalam suatu susunan hierarki (tingkatan), yaitu berada dalam hubungan satu sama lain sebagai sebagai yang lebih tinggi atau lebih rendah, dan karena hubungan-hubungan ini dapat dipahami hanya dalam tindakan preferensi atau tindakan penolakan, maka perasaan akan nilai memiliki dasarnya pada tindakan preferensi. Susunan tingkatan nilai tidak pernah dapat diketahui didekdusikan atau dijabarkan secara logis. Nilai manakah lebih tinggi hanya dapat diketahui melalui tindakan preferensi atau mendahulukan atau mengunggulkan atau tindakan meremehkan dengan menempatkan di tingkat lebih rendah.
Hierarki nilai terdiri dari empat tingkatan, yaitu;
1. Nilai Kesenangan.
Pada tingkat terendah, kita dapat menemukan deretan nilai- nilai kesenangan dan nilai kesusahan, atau kenikmatan dan kepedihan. Tingkatan nilai ini berkaitan dengan fungsi dari perasaan inderawi, yaitu rasa nikmat dan rasa sakit atau pedih. Rumusan bahwa kesenangan lebih disukai dari pada ketidaksenangan tidak ditetapkan berdasarkan pengamatan atau induksi (berdasarkan pengalaman empiris indrawi), tetapi merupakan apriori (pengalaman yang mendahului serta tidak berdasarkan pada pengamatan empiris inderawi) dan sudah termuat dalam inti nilai tersebut. Secara apriori dapat dipastikan bahwa setiap orang akan memilih yang menyenangkan dari pada yang tidak menyenangkan.
2. Nilai Vitalitas Atau Kehidupan.
Yang terdiri dari nilai-nilai rasa kehidupan, meliputi yang luhur, halus, atau lembut hingga yang kasar atau biasa, dan juga mencakup yang bagus (dalam arti istimewa) yang berlawanan dengan yang jelek. Nilai-nilai yang diturunkan dari tingkatan ini meliputi kesejahteraan pada umumnya, baik pribadi maupun komunitas. Keadaan yang terkait adalah kesehatan, vitalitas, penyakit, lanjut usia, lemah, dan rasa mendekati kematian. Nilai vitalitas menghadirkan perasaan yang sama sekali tidak tergantung, serta tidak dapat direduksi atau dikembalikan baik pada tingkatan nilai yang lebih tinggi (nilai spiritual) atau pada yang tingkatan nilai yang lebih rendah (nilai kegunaan atau kesenangan).
3. Nilai-Nilai Spiritual
Yang memiliki sifat tidak tergantung pada seluruh lingkungan badaniah serta lingkungan alam sekitar. Tingkatan nilai ini memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada nilai kehidupan dapat terlihat dengan jelas bahwa orang wajib untuk mengorbankan nilai vitalitas demi nilai spiritual ini. Kita menangkap spiritual dengan rasa spiritual dan dalam tindakan preferensi spiritual yaitu mencintai dan membenci. Perasaan dan tindak spiritual berbeda dengan fungsi vital serta tidak dapat direduksi atau dikembalikan pada tingkat biologis. Jenis pokok dari nilai spiritual adalah:
a. Nilai Estetis, yang berkaitan dengan keindahan dan kejelekan
b. Nilai benar dan salah atau nilai adil dan tidak adil, yang merupaka dasar utama bagi bagi suatu tatanan hokum objektif; dan
c. Nilai dari pengetahuan murni demi dirinya sendiri, yang dicoba filsafat untuk diwujudkannya.
4. Nilai kesucian dan nilai keprofanan.
Nilai ini hanya tampak pada pada kita dalam objek yang dituju sebagai objek absolute. Tingkatan nilai kesucian ini tidak tergantung pada perbedaan waktu dan perbedaan orang yang membawannya. Keadaan perasaan yang berkaitan dengan nilai-nilai ini adalah rasa terberkati dan rasa putus harapan yang secara jelas harus dibedakan dengan sekedar rasa senang dan susah. Rasa terberkati dan putus harapan mencerminkan serta mengukur pengalaman manusia akan kedekatannya serta jaraknya dari yang suci. Tanggapan yang biasannya diberikan terhadap tongkatan nilai spiritual ini adalah beriman dan tidak beriman, kagum, memuji, dan menyembah. Tindakan yang terjadi dalam mencapai nilai kekudusan adalah suatu jenis cinta khusus yang secara hakikiterarah pada pribadi. Dengan demikian, tingkatan nilai ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi. Nilai-nilai turunannya adalah nilai-nilai barang dalam pemujaan sakramen dan bentuk-bentuk ibadat, sejauh terkait dengan pribadi yang dipuja.
Bagi Max Scheler, hubungan hierarkis nilai-nilai yang tersensun dari tingkat nilai kesenagan hingga nilai kekudusan bersifat apriori (sebagai yang memang adanya demikian sejak awal sebelum ditemukan dan dialami manusia) dengan demikian mendahului setiap keterjalinan lainnya yang ada misalanya keterjalinan dalam pemikiran dan pemanfaaatan yang dilakukan oleh manusia ini dapat diterapkan pada objek-objek bernilai yaitu pada nilai-nilai yang terwujud dalam objek-objek bersangkutan.
Keempat tingkatan nilai yang telah digambarkan diatas tidak memasukkan nilai moral baik dan jahat.
Alasan Max Scheler adalah bahwa nilai-nilai moral berada yang berbeda pada segi yang berbeda. Nilai moral ditemukan dalam perwujudan nilai-nilai nonmoral. Nilai moral melekat pada tingkatan yang mewujudkan nilai-nilai lainya dalam tata tertip yang benar. Kebaikan moral adalah keinginan untuk mewujudkan nilai lebih tinggi atau nilai tertinggi, sedang kejahatan moral adalah memilih nilai yang lebih rendah atau nilai yang terendah. Tindakan baik secara moral adalah tindakan mewujudkan nilai yang dimaksudkannya sebagai nilai yang lebih tinggi, serta menolak nilai yang lebih rendah. Sedankan tindakan jahat adalah tindakan yang menolak nilai yang lebih tinggi, dan mewujudkan nilai yang lebih rendah. Nilai moral baik tidak pernahmerupakan isi atau materi bagi tindakan untuk mewujudkan kehendak. Nilai baik tidak pernah dimaksud sebagai tujuan tindakan moral kita. Nilai ini hanya tampak di atas punggung tindakan lainnya yang mewujudkan nilai positif lebih tinggi.
Menurut Max Scheler, model merupakan rangsangan yang sangat efisien untuk kebaikan dan merupakan sumber yang sangat penting bagi perkembangan dan perubahan dalam bidang moral. Tidak suatu pun di dunia ini yang mendorongseorang person baik orsinal, langsung dan pasti, kecuali pengamatan yang penuh pengertian terhadap seorang person yang baik dalm kebaikannya. Seseorang dibentuk dan dibangun dalam kebiasaan moral serta keberadaannya lebih dengan cara mengikuti suatu contoh dari pada dengan mengikuti norma- norma.