Hukum pidana Islam sering disebut dengan fikih jinayah. Fikih jinayah terdiri dari dua kata. Fikih secara bahasa berasal dari lafal faqiha, yafqahu fiqhan, yang berarti mengerti, paham. Pengertian fikih secara istilah yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf adalah: Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Atau fikih adalah himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.
Sedangkan Jinayah menurut bahasa adalah nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan. Adapun jinayah secara istilah sebagai mana yang di kemukakan oleh Abdul Qadir Audah yaitu: Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya.
Beberapa pandangan intelektual lain mengartikan Hukum Pidana Islam yaitu Sayid Sabiq memberikan definisi jinayah sebagai berikut:Yang dimaksud dengan jinayah dalam istilah syara’ adalah setiap perbuatan yang dilarang. Dan perbuatan yang dilarang itu adalah setiap perbuatan yang oleh syara’ dilarang untuk melakukannya, karena adanya bahaya terhadap agama, jiwa, akal, kehormatan atau harta benda.
Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang.Abd al Qodir Awdah bahwa jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.
Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai
dan lain sebagainya.
Dari beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa Tindak pidana dalam hukum Islam disebut dengan jinayah yakni suatu tindakan yang dilarang oleh syara’ (Al Qur’an dan Hadis) karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan, dan akal (intelegensia). Pengertian dari istilah jinayah mengacu pada hasil perbuatan seseorang dan dalam pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Umumnya para fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa seperti pemukulan, pembunuhan, dan sebagainya. Selain itu ada fuqaha yang membatasi istilah jinayah kepada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan Qishash, tidak termasuk perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman ta’zir.. istilah lain yang sepadan dengan istila jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-larangan Syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pengertian jinayah mengacu kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara’ dan diancam dengan hukuman had atau ta’zir. Larangan-larangan atas perbuatan-perbuatan yang termasuk kategori jinayah berasal dari ketentuan-ketentuan (nash-nash) syara’. Artinya, perbuatan-perbuatan manusia dapat dikategorikan sebagai jinayah jika perbuatan tersebut diancam hukuman. Larangan-larangan berasal dari Syara’, maka larangan-larangan tersebut hanya ditujukan kepada orang-orang yang berakal sehat.
Hanya orang yang berakal sehat saja yang dapat menerima panggilan (khitab), dan dengan demikian orang tersebut mampu memahami pembebanan (taklif)dari syara’. Perbuatan-perbuatan merugikan yang dilakukan orang gila, anak kecil tidak dapat dikategorikan sbagai jinayah, karena mereka tidak dapat menerima khitab atau memahami taklif. Dari sinilah dapat ditarik unsur atau rukun umum dari jinayah. Perlu kiranya saya cantumkan Unsur atau rukun jinayah trsebut yaitu:
a. Unsur formil yaitu, adanya nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan mengancamnya dengan hukuman.
b. Unsur materiel yaitu, adanya tingkah laku yang membentuk tindak pidana (Jarimah), baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif).
c. Unsur moral atau pertanggungjawaban yaitu, bahwa pelaku adalah orang yang mukallaf, yakni orang yang dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukannya.
d. Unsur formil (al-Rukun al-Syar’i)
Pada awal sejarah Islam, undang-undang hukum pidana langsung merujuk kepada petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah. Di samping itu, Nabi Muhammad Saw. juga bertindak sebagai hakim yang memutuskan perkara yang timbul dalam masyarakat. Dalam perkara pidana, Nabi Saw. memutuskan bentuk hukuman terhadap pelaku perbuatan pidana sesuai dengan wahyu Allah. Setelah Nabi Saw. wafat, tugas kepemimpinan masyarakat dan keagamaan dilanjutkan oleh “al-Kulafa’ar-Rasyidun” sebagai pemimpin umat Islam, yang memegang kekuasaan sentral. Masalah pidana tetap dipegang oleh khalifah sendiri.
Dalam memutuskan suatu perkara pidana, khalifah langsung merujuk kepada al-Qur’an dan sunah Nabi Saw. Apabila terdapat perkara yang tidak dijelaskan oleh kedua sumber tersebut, khalifah mengadakan
konsultasi dengan sahabat lain. Keputusan ini pun diambil berdasarkan ijtihad. Pada masa ini belum ada kitab undang-undang
hukum pidana yang tertulis selain al-Qur’an.
Pada era Bani Umayyah (661-750) peradilan dipegang oleh khalifah. Untuk menjalankan tugasnya, khalifah dibantu oleh ulama mujtahid. Berdasarkan pertimbangan ulama, khalifah menentukan putusan
peradilan yang terjadi dalam masyarakat. Khalifah yang pertama kali menyediakan waktunya untuk hal ini adalah Abdul Malik bin Marwan (26 H - 86 H/647 M -705 M). Kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (63 H – 102 H/682 M - 720 M). Pada masa ini, belum ada kitab undang-undang hukum pidana yang bersifat khusus. Pedoman yang dipakai adalah al-Qur’an, sunah Nabi Saw., dan ijtihad ulama. Pengaruh pemikiran asing juga belum memasuki pemikiran pidana Islam Perubahan terjadi pada abad ke-19 ketika pemikiran Barat modern mulai memasuki dunia Islam.
Negara yang pertama kali memasukkan unsur-unsur Barat dalam undang-undang hukum pidananya adalah Kerajaan Turki Usmani. Undang-undang hukum pidana yang mula-mula dikodifikasi adalah pada
masa pemerintahan Sultan Mahmud II (1785-1839) pada tahun 1839 di bawah semangat Piagam Gulhane. Dalam undang-undang ini ditentukan bahwa setiap perkara yang besar, putusannya harus mendapat persetujuan Sultan. Undang-undang ini kemudian diperbarui pada tahun 1851 dan disempurnakan pada tahun 1858. Undang-undang hukum pidana ini disusun berdasarkan pengaruh hukum pidana Perancis dan Italia. Undang-undang hukum pidana ini tidak memuat ketentuan hukum pidana Islam, seperti kisas terhadap pembunuhan, potong tangan terhadap pencurian, dan hukuman rajam atas tindak pidana zina.
Perumusan undang-undang hukum pidana diikuti oleh Libanon. Diawali dengan pembentukan sebuah komisi yang bertugas membuat rancangan undang-undang hukum pidana pada tahun 1944. Dalam penyusunannya, Libanon banyak mengadopsi undang-undang hukum pidana Barat seperti Perancis, Jerman dan Swis.
Allah menciptakan hukum untuk mengatur hak dan kewajiban manusia guna menghendaki terjadinya kedamaian dengan sesama makhluk, Hukum Pidana Islam adalah hukum yang mengatur tindak pidana, akan tetapi hukum pidana Islam dipandang sebagai hukum yang tidak berkembang dan telah mati karenamenyajikan qisash dan hudud yang dianggap sebagai hukuman sadis dan tidak manusiawi.Padahal semua umat Islam meyakini bahwa hukum Islam adalah hukum yang universal rahmatan lil alamin.
Secara teori dalam mata kuliah hukum pidana islam, kita telah mengetahui bahwa hukum pidana Islam dalam bahasa arab adalah jarimah yang berarti dosa, kesalahan, atau kejahatan. Yang secara terminologis adalah larangan hukum yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir. Jariamah umumnya dipakai sebagai perbuatan dosa seperti pencurian, pembunuhan, atau
perkosaan. Dalam perbuatan jarimah ini seseorang dalam melakukannya ada yang dilakukan secara sengaja, secara individual, kerjasama, ataupun dengan melakukan percobaan berbuat jarimah. Disini pemakalah akan membahas tentang percobaan melakukan jarimah, mengenai pengertian jarimah, macam-macamnya, dan apakah dalam melakukan percobaan jarimah akan dikenai hukuman atau tidak menurut syariat islam.
Kata Jinayat adalah bentuk jamak dari kata jinayah, yang berarti perbuatan dosa, kejahatan atau pelanggaran. Bab Al-jinayah dalam fiqih Islam membicarakan bermacam-macam perbuatan pidana (jarimah) dan hukumnya. Hukum had adalah hukuman yang telah dipastikan ketentuannya dalam nash al-Qur’an atau Sunnah Rasul. Sedangkan hukum ta’zir adalah hukuman yang tidak dipastikan ketentuannya dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hukum ta’zir menjadi wewenang penguasa untuk menentukannya. Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqih dengan istilah jinayat atau jarimah. Jinayat dalam istilah hukum Islam sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Jinahah merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwajinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.
Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqoha’, perkataan Jinayat berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara’. Meskipun demikian, pada umunya fuqoha’ menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang terlarang menurut syara’. Meskipun demikian, pada umumnya fuqoha’ menggunakan istilah tersebut hanya untuk
perbuatan perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqoha’ yang membatasi istilah Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta’zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan larangan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir. Namun secara umum Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya.
Jadi jinayah merupakan suatu tindakan yang dilarang oleh syara’ karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan, dan akal (intelegensi). Dalam Undang-Undang Hukum Pidana Republik Persatuan Arab (KUHP RPA) terdapat tiga tindak pidana yang didasarkan pada berat-ringannya hukuman, yaitu jinayah (jinayah yang disebutkan dalam konstitusi dan merupakan tindakan yang paling berbahaya. Konsekuensinya, pelaku tindak pidana diancam dengan hukuman berat, seperti hukuman mati, kerja keras, atau penjara seumur hidup, dalam Pasal 10 KUHP RPA). Janbah (perbuatan yang diancam dengan hukuman lebih dari satu minggu tetapi tidak sampai kepada penjatuhan hukuman mati
atau hukuman seumur hidup, dalam pasal 11 KUHP RPA). Mukhalafah. (jenis pelanggaran ringan yang yang ancaman hukumannya tidak lebih dari satu minggu, dalam Pasal 12 KUHP RPA).