Pengertian Tindak Pidana Korupsi - Sebelum menguraikan pengertian korupsi, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian tentang tindak pidana. Pembentuk undang-undang di Indonesia nenggunakan istilah "straafbaarfeit" untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai "straafbaarfeit". Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedang “strafbaar”berarti “dapat dihukum”, hingga secara harafiah perkataan “strafbaar feit”itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.
Seperti yang telah dikatakan diatas, bahwa pembentuk undang-undang tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang ia maksud dengan perkataan “strafbaar feit”, maka timbullah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit”tersebut., misalnya perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal-hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman serta tindak pidana.Dalam hubungan ini, SatochidKartanegara lebih condong menggunakan istilah “delict”yang telah lazim dipakai.
|
Korupsi |
R. Tresna menggunakan istilah "peristiwa pidana". Sudarto menggunakan istilah "tindak pidana", demikian pula Wirjono Projodikoro menggunakan istilah "tindak pidana" yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Akan tetapi Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana” yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
Pemerintah dalam beberapa peraturan perundang-undangan selalu memakai istilah "tindak pidana", seperti juga ternyata dalam undang-undang Nomor 3/1972 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Undang-undang inilah yang menjadi landasan hukum tindak pidana korupsi. Adapun kata "korupsi" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Fockema Andreae dalam Kamus Istilah Hukum mengatakan corruptieadalah terutama dipakai bagi pegawai negara yang mendapat uang sogok yaitu menerima pemberian dan sebagainya, sedangkan mereka tahu, bahwa pemberian ini dimaksudkan untuk melakukan hal yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya. Menurut Subekti dan Citrosudibio, korupsi adalah perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan keuangan negara.
Secara terminologi terdapat beberapa rumusan tentang korupsi:
1. Setiawan Budi Utomo, korupsi adalah perbuatan tercela berupa penyelewengan dana, wewenang, amanat dan sebagainya untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, dan kelompoknya yang dapat merugikan negara maupun pihak lain.
2. Menurut Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala: salah-pakai dan salah-urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi; salah-urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
3. Menurut Imam Asyari, makna korupsi menurut umum, seperti: pejabat korup, dimaksudkan "apabila seorang pegawai negeri, menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi". Juga perbuatan menawarkan jasa dan hadiah lain yang menggoda, pemerasan dan penggelapanpun termasuk tindak korupsi.
4. Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil dari definisi yang dikemukakan antara lain berbunyi, financial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt(manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan perbuatan korupsi). Selanjutnya ia menjelaskan the term is often applied also to misjudgements by officials in the public economies (istilah ini sering juga digunakan terhadap kesalahan ketetapan oleh pejabat yang menyangkut bidang perekonomian umum). Dikatakan pula, disguised payment in the form of gifts, legal fees, employment, favors to relatives, social influence, or any relationship that sacrifices the public and welfare, with or without the implied payment of money, is usually considered corrupt(pembayaran terselubung dalam bentuk pemberian hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak keluarga, pengaruh kedudukan sosial, atau hubungan apa saja yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang, biasanya dianggapsebagai perbuatan korupsi). la menguraikan pula bentuk korupsi yang lain, yang diistilahkan political corruption(korupsi politik) adalah electoral corruption includes purchase of vote with money, promises of office or special favors, coercion, intimidation, and interference with administrative of judicial decision, or governmental appointment (korupsi pada penelitian umum, termasuk memperoleh suara dengan uang, janji dengan jabatan atau hadiah khusus, paksaan, intimidasi, dan campur tangan terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam jabatan melibatkan penjualan suara dalam legislatif, keputusan administrasi, atau keputusan yang menyangkut pemerintahan).
Lahirnya Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 diawali dengan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tanggal 9 Juni 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian menurut Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1961, sejak tanggal 1 Januari 1961 telah menjadi undang-undang, disebut Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960. Undang-undang ini juga biasa disebut dengan Undang-Undang Antikorupsi, yang mengalami penyempurnaan dari peraturan-peraturan sebelumnya.
Perumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun l960 adalah sebagai berikut.
1) Tindakan seseorang yang dengan sengajaatau karena memperkaya diri sendiri atau merugikan keuangan atauperekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.
2) Perbuatan seseorang yang dengan ataukarena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
3) Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 17 sampai 21 peraturan ini dan dalam Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 453 KUHP.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960, bentuk perbuatan korupsi lainnya tidak dikenal lagi dan pembentuk undang-undang mengganti istilah perbuatan pidana dengan istilah tindak pidana. Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tampaknya kurang berhasil. Berdasarkan kenyataan di lapangan, banyak ditemukan hal-hal yang tidak sesuai, antara lain:
1) Adanya perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara yang menurut perasaan keadilan masyarakat hams dituntut dan dipidana, tidak dapat dipidana karena tidak adanya rumusan tindak pidana korupsi yang berdasarkan kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan tersebut;
2) pelaku tindak pidana korupsi hanya ditujukan kepada pegawai negeri, tetapi kenyataannya orang-orang yang bukan pegawai negeri yang menerima tugas atau bantuan dari suatu badan negara, dapat melakukan perbuatan tercela seperti yang dilakukan pegawai negeri;
3) perlu diadakan ketentuan yangmempermudah pembuktian dan mempercepat proses hukum acara yang berlaku tanpa tidak memperhatikan hak asasi tersangka atau terdakwa.
Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, dilakukan penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 sehingga dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun l971. Perumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah sebagai berikut.
(1) a.Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
b. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
c. Barang siapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP.
d. Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat suatu kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.
e. Barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya, seperti yang terdapatdalam Pasal 418,419, dan 420 KUHP, tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.
(2) Barang siapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindakan pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, dan e pasal ini. Kemajuan antara perumusan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dengan peraturan perundang-undangan yang sebelumnya dapat dikatakan ada beberapa kemajuan. Kemajuan tersebut meliputi:
1. Perumusan tindak pidana korupsi dengan unsur "melawan hukum", sedangkan peraturan terdahulu dirumuskan dengan unsur "dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran".
2. Bentuk delik korupsi merupakan "delik formil", berarti bahwa delik korupsi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 merumuskan dalam unsur-unsurnya serta bentuknya, akibat nyata dari perbuatan dari tidak disyaratkan untuk selesainya delik, sedangkan peraturan sebelumnya merumuskan delik korupsi sebagai delik materiil.
3. Apabila dalam peraturan terdahulu perumusan terbagi dalam tiga bagian, yaitu tindak pidana korupsi yang hanya bersifat luas dan umum, tindak pidana korupsi yang berupa penyalahgunaan kewenangan atau jabatan serta beberapa pasal delik jabatan dalam KUHP, maka dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 di samping hal itu masih dirumuskan pula tindak pidana suap aktif dan suap pasif yang tidak dilaporkan dalam waktu sesingkat-singkatnya oleh penerima hadiah atas pemberian tersebut.
Perluasan bentuk tindak pidana korupsi berupa "percobaan dan permufakatan" melakukan tindak pidanakorupsi sudah dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi (delik selesai). Meskipun UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001 tidak merumuskan kata "korupsi", namun apabila melihat bunyi Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999, maka yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi dalam UU No. 31 tahun 1999 Pasal 2 adalah: "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000. 000.000,00. (Satu milyar rupiah)". Kemudian lebih lanjut dalam pasal 3 di terangkan bahwa "Setiap orang yang
dengan tujuan menguntungkan diri sendiriatau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atauperekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu (1) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000.00,(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah).
Dari pengertian tersebut dapat diuraikan unsur-unsur tindak pidana korupsi, yang unsur-unsur pokoknya adalah :
1. Tindakan melawan hukum
2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau Korporasi
3. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
4. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
Dalam penjelasannya yang dimaksud dengan unsur "secara melawan hukum" mencakup perbuatan melawan hukum secara formil dan secara materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun kalau perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan dan norma-norma masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Selain itu tindak pidana korupsi adalah tindak pidana formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Fenomena sosial korupsi sudah lama ada dalam masyarakat, tetapi baru menarik perhatian setelah perang dunia ke-II. Gejolak korupsi ini meningkat di negara yang sedang berkembang, negara yang baru memperoleh kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi bangsa.