Pengertian Poligami - Kata Poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu Polus artinya banyak dan gamein artinya kawin. Dengan demikian, poligami adalah kawin banyak. Artinya, seorang laki-laki mempunyai beberapa isteri pada saat yang sama. Dalam bahasa Arab, poligami disebut ta’addud al-zaujat, yang artinya perbuatan seorang laki-laki mengumpulkan dalam tanggungannya dua sampai empat orang isteri, tidak boleh lebih darinya.
Menurut istilah, poligami adalah perkawinan dalam waktu yang sama, seorang dengan dua orang atau lebih lawan jenisnya, dapat seorang laki-laki dengan lebih dari seorang wanita atau seorang wanita dengan lebih dari seorang laki-laki. Kata poligami sering disalah artikan dengan perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari seorang wanita (poligini). Definisi lain mengartikan bahwa poligami merupakan ikatan perkawinan diamana salah satu pihak mempunyai atau menikahi beberapa lawan jenis dalam waktu yang tidak berbeda.
Musdah Mulia mendefinisikan poligami sebagai ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu isteri dalam waktu yang sama.
|
Poligami |
Sedangkan dalam tafsir Al-Manar, Muhammad Rasyid Rida berpendapat bahwa poligami adalah Khilaf Al-Ashl Al-Thabi’i, pada asalnya seorang laki-laki hanya mempunyai seorang isteri saja, karena keadaan darurat ketika laki-laki banyak yang mati karena perang dibolehkan poligami dengan syarat tidak berbuat aniaya atau zalim.
Poligami menurut Kompilasi Hukum Islam adalah seorang suami beristeri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri. Jadi, yang dimaksud dengan poligami adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan lebih dari seorang isteri dalam waktu yang sama.
Dasar Hukum Poligami
Menurut hukum asalnya, poligami adalah mubah (boleh), Allah SWT. membolehkan laki-laki berpoligami sampai empat orang isteri dengan syarat dia bisa berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Jika suami khawatir berbuat zalim (tidak bisa adil), maka haram hukumnya melakukan poligami.
Allah berfirman dalam al-Quran surat An-Nisa’ (4): 3
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka (kawinilah) seorang saja , atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” [QS.An-Nisa’ (4):3]
Ayat tersebut menurut pandangan Wahbah al-Zuhaily dalam kitab Al-Tafsir Al-Munir bahwa seorang suami diperkenankan untuk melakukan poligami jika ia bisa berbuat adil kepada isteri-isterinya. Akan tetapi, seandainya tidak bisa atau bahkan tidak mampu untuk berbuat adil terhadap isteri-isterinya, maka Islam tidak memperbolehkan baginya untuk berpoligami.
Senada dengan al-Zuhaily, Amir Syarifuddin mengatakan bahwa ayat tersebut memberikan beberapa batasan antara lain: batas maksimal empat orang isteri dan juga hanya boleh dilakukan bagi orang-orang yang mampu berbuat adil. Oleh karena itu, jika syarat tersebut tidak terpenuhi maka tidak diperbolehkan berpoligami.
Dalil dari Sunnah Rasulullah saw tentang poligami adalah hadits yang diriwayatkan oleh Qais bin Al-Harits ra, beliau berkata:
“ketika masuk Islam, saya memiliki delapan isteri. Saya menemui Rasulullah saw dan menceritakan keadaan saya, lalu beliau bersabda: pilih empat diantara mereka”
Sedangkan dalil dari Ijma’ ialah kesepakatan kaum muslimin tentang kehalalan poligami baik melalui ucapan atau perbuatan mereka sejak masa Rasulullah saw sampai hari ini. Para sahabat utama Nabi melakukan poligami seperti Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, dan Muaz bin Jabal ra.. Poligami juga dilakukan oleh ahli fiqih tabi’in (generasi pasca sahabat Nabi), dan lain-lain yang terbilang tidak banyak. Kesimpulannya bahwa generasi salaf(terdahulu) dan khalaf (kini) dari umat Islam telah bersepakat melalui ucapan dan perbuatan mereka bahwa poligami itu halal.
Berkaitan dengan poligami, secara implisit dasar hukum dan regulasi mengenai poligami di Indonesia termaktub dalam berbagai peraturan perundang-undanagn perkawinan. Regulasi tersebut, terdapat pada Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 4 dan 5. Berikut juga mengenai tata pelaksanaannya dalam Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bab VIII pasal 40-44. Kemudian juga dalam Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1983 mengenai Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil pasal 4 dan 5. Selain itu diterangkan juga melalui Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam bab IX pasal 55-59 yang dikenal dengan KHI. Di dalam peraturan perundang-undangan tersebut, telah diatur mekanisme poligami, mulai dari batasan maksimal jumlah isteri, alasan atau motif yang dijadikan dasar poligami, persyaratan-persyaratan hingga prosedur yang harus ditempuh dan dipenuhi oleh suami yang akan poligami.
Prinsip perkawinan menurut Undang –Undang Perkawinan tahun 1974 pada dasarnya adalah monogami, sedangkan poligami merupakan pengecualian. Prinsip Hukum Islam mengatur kehadiran poligami sebagai hal yang muba>h. Kebolehan berpoligami merupakan pengecualian dengan syarat dan ketentuan yang tidak ringan. Seorang suami dapat melakukan poligami atas ijin pengadilan agama apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pengadilan agama dalam memeriksa perkara ijin poligami berpedoman pada beberapa hal, antara lain:
1. Permohonan ijin poligami harus bersifat kontensius, pihak isteri didudukkan sebagai termohon.
2. Alasan ijin poligami yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bersifat alternatif, maksudnya bila salah satu persyaratan tersebut dapat dibuktikan, pengadilan agama atau Mahkamah Syariah dapat memberi ijin poligami.
3. Persyaratan ijin poligami yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bersifat kumulatif, maksudnya pengadilan agama atau Mahkamah Syariah hanya dapat memberi ijin poligami apabila semua persyaratan tersebut telah terpenuhi.
4. Harta Bersama dalam hal suami beristeri lebih dari satu orang, telah diatur dalam Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi pasal tersebut mengandung ketidakadilan, karena dalam keadaan tertentu dapat merugikan isteri yang dinikahi lebih dahulu, oleh karenanya pasal tersebut harus dipahami sebagaimana diuraikan dalam angka (5) di bawah ini.
5. Harta yang diperoleh oleh suami selama dalam ikatan perkawinan dengan isteri pertama, merupakan harta bersama milik suami dan isteri pertama. Sedangkan harta yang diperoleh suami selama dalam ikatan perkawinan dengan isteri kedua dan selama itu pula suami masih terikat perkawinan dengan isteri pertama, maka harta tersebut merupakan harta bersama milik suami isteri, isteri pertama dan isteri kedua. Demikian pula halnya sama dengan perkawinan kedua apabila suami melakukan perkawinan dengan isteri ketiga dan keempat.
6. Ketentuan harta bersama tersebut dalam angka (5) tidak berlaku atas harta yang diperuntukkan terhadap isteri kedua, ketiga dan keempat (seperti rumah, perabotan rumah dan pakaian) sepanjang harta yang diperuntukkan isteri kedua, ketiga dan keempat tidak melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta bersama yang diperoleh dengan isteri kedua, ketiga dan keempat.
7. Bila terjadi pembagian harta bersama bagi suami yang mempunyai isteri lebih dari satu orang karena kematian atau perceraian, cara perhitungannya adalah sebagai berikut : Untuk isteri pertama 1/2 dari harta bersama dengan suami yang diperoleh selama perkawinan, ditambah 1/3 dari harta bersama yang diperoleh suami bersama dengan isteri pertama dan isteri kedua, ditambah 1/4 dari harta bersama yang diperoleh suami bersama dengan isteri ketiga, isteri kedua dan isteri pertama, ditambah 1/5 dari harta bersama yang diperoleh suami bersama isteri keempat, ketiga, kedua dan pertama.
8. Harta yang diperoleh oleh isteri pertama, kedua, ketiga dan keempat merupakan harta bersama dengan suaminya, kecuali yang diperoleh suami/isteri dari hadiah atau warisan.
9. Pada saat permohonan ijin poligami, suami wajib pula mengajukan permohonan penetapan harta bersama dengan isteri sebelumnya, atau harta bersama dengan isteri-isteri sebelumnya. Dalam hal suami tidak mengajukan permohonan penetapan harta besama yang digabung dengan permohonan ijin poligami, isteri atau isteri-isterinya dapat mengajukan rekonvensi penetapan harta bersama.
10. Dalam hal suami tidak mengajukan permohonan penetapan harta bersama yang digabungkan dengan permohonan ijin poligami sedangkan isteri terdahulu tidak mengajukan rekonvensi penetapan harta bersama dalam perkara permohonan ijin poligami sebagaimana dimaksud dalam angka (9) di atas, permohonan penetapan ijin poligami harus dinyatakan tidak dapat diterima.