Pengertian Toleransi Beragama - Lawan kata "toleransi" yaitu "fanatik". Kata "fanatik" dalam Webster's New American Dictionary, Fanatic: one who is exaggeratedly zealous for a belief or cause (seorang fanatik: orang yang secara berlebih-lebihan akan suatu kepercayaan atau penyebab), Fanaticism: exaggerated, unreasoning zeal (fanatisme: yang dilebih-lebihkan, semangat omong kosong). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, fanatisme berarti keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama dan sebagainya). Dengan singkat, Pius Partanto dan M.Dahlan al-Barry mengartikan fanatisme sebagai kekolotan.
Term fanatisme merupakan antonim (lawan kata) dari toleransi, dan kata toleransi dalam Webster's New American Dictionary", diartikan sebagai leberality toward the opinions of others; patience with others, " Maksudnya, memberikan kebebasan (membiarkan) terhadap pendapat orang lain, dan berlaku sabar menghadapi orang lain. W.J.S. Poerwadarminta mengartikan toleransi itu dengan sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kelakuan dsb) yang lain atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri, misalnya: agama (ideologi, ras, dan sebagainya) dalam arti suka rukun kepada siapapun, membiarkan orang berpendapat atau berpendirian lain, tak mau mengganggu kebebasan berpikir dan berkeyakinan lain. Demikian pula toleransi diartikan sebagai kesabaran, kelapangan dada.
Dengan demikian toleransi merupakan kemampuan untuk menghormati sifat dasar, keyakinan dan perilaku yang dimiliki oleh orang lain. Dalam literatur agama (Islam), toleransi disebut sebagai tasamuh artinya adalah sifat atau sikap menghargai, membiarkan, atau membolehkan pendirian (pandangan) orang lain yang bertentangan dengan pandangan kita.
|
Toleransi Beragama |
Dalam suatu hadis ditegaskan:
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah Saw. bersabda: ―aku wasiatkan kepada kamu sekalian agar kamu selalu bertakwa kepada Allah dan berlaku baik terhadap setiap muslim. Perangilah dengan nama Allah di jalan Allah setiap orang yang ingkar kepada Allah. Jangan kamu berkhianat, jangan kanu berlaku kejam, dan jangan kamu bunuh anak kecil, kaum wanita maupun orang tua bangka. Jangan kamu bunuh orang yang mengasingkan dirinya dalam kuilnya dan jangan kamu rusak pohon kurma, pohon-pohon lainnya dan jangan kamu hancurkan rumah. (H.R. al-Bukhari)
Sebagai prinsip metodologis, toleransi adalah penerimaan terhadap yang tampak sampai kepalsuannya tersingkap. Toleransi relevan dengan epistemologi. la juga relevan dengan etika sebagai prinsip menerima apa yang dikehendaki sampai ketaklayakannya tersingkap. Toleransi adalah keyakinan bahwa keanekaragaman agama terjadi karena sejarah dengan semua faktor yang mempengaruhinya, kondisi ruang dan waktunya berbeda, prasangka, keinginan dan kepentingannya. Di balik keanekaragaman agama berdiri al-din al-hanif, agama fitrah Allah, yang mana manusia lahir bersamanya sebelum akulturasi membuat manusia menganut agama ini atau itu.
Dilihat dari perspektif agama, umur agama setua dengan umur manusia. Tidak ada suatu masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk agama. Agama ada pada dasarnya merupakan aktualisasi dari kepercayaan tentang adanya kekuatan gaib dan supranatural yang biasanya disebut sebagai Tuhan dengan segala konsekuensinya. Atau sebaliknya, agama yang ajaran-ajarannya teratur dan tersusun rapi serta sudah baku itu merupakan usaha untuk melembagakan sistem kepercayaan, membangun sistem nilai kepercayaan, upacara dan segala bentuk aturan atau kode etik yang berusaha mengarahkan penganutnya mendapatkan rasa aman dan tentram.
Mengenai arti agama secara etimologi terdapat perbedaan pendapat, di antaranya ada yang mengatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu : ―a berarti tidak dan ―gama berarti kacau, jadi berarti tidak kacau. Kata agama dalam bahasa Indonesia sama dengan “diin” (dari bahasa Arab) dalam bahasa Eropa disebut ― religi”, religion (bahasa Inggris), la religion (bahasa Perancis), the religie (bahasa Belanda), die religion, (bahasa Jerman). Kata “diin” dalam bahasa Semit berarti undang-undang (hukum), sedang kata diin dalam bahasa Arab berarti menguasi, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan.
Meskipun terdapat perbedaan makna secara etimologi antara diin dan agama, namun umumnya kata diin sebagai istilah teknis diterjemahkan dalam pengertian yang sama dengan ―agama. Kata agama selain disebut dengan kata diin dapat juga disebut syara, syari’at/millah. Terkadang syara itu dinamakan juga addiin/millah. Karena hukum itu wajib dipatuhi, maka disebut addin dan karena hukum itu dicatat serta dibukukan, dinamakan millah. Kemudian karena hukum itu wajib dijalankan, maka dinamakan syara.
Dari pengertian agama dalam berbagai bentuknya itu maka terdapat bermacam-macam definisi agama. Harun Nasution telah mengumpulkan delapan macam definisi agama yaitu:
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan gaib.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.
Adapun masalah asal mula dan inti dari suatu unsur universal agama itu, tegasnya masalah mengapakah manusia percaya kepada suatu kekuatan yang dianggap lebih tinggi daripadanya, dan masalah mengapakah manusia melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beraneka warna untuk mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi, telah menjadi obyek perhatian para ahli pikir sejak lama. Mengenai soal itu ada berbagai pendirian dan teori yang berbeda-beda. Teori-teori yang terpenting adalah:
a. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mulai sadar akan adanya faham jiwa.
b. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mengakui adanya banyak gejala yang tidak dapat diterangkan dengan akalnya.
c. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan maksud untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam jangka waktu hidup manusia.
d. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena kejadian-kejadian yang luar biasa dalam hidupnya, dan dalam alam sekelilingnya.
e. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena suatu getaran atau emosi yang ditimbulkan dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa kesatuan sebagai warga masyarakatnya.
f. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena manusia mendapat suatu firman dari Tuhan.
Setiap agama memiliki kebenaran, keyakinan tentang yang benar itu didasarkan kepada Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Dalam tataran sosiologis, klaim kebenaran berubah menjadi simbol agama ya ng dipahami secara subjektif oleh setiap pemeluk agama. Sering tampak ke permukaan yaitu terjadinya konflik antaragama sebagai akibat kesenjangan ekonomi, perbedaan kepentingan politik, ataupun perbedaan etnis.
Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknai dan dibahasakan. Sebab, perbedaan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang yang diambil peyakin — dari konsepsi ideal turun ke bentuk-bentuk normatif yang bersifat kultural. Hal ini yang biasanya digugat oleh berbagai gerakan keagamaan (harakah) pada umumnya. Sebab, mereka mengklaim telah memahami,memiliki, dan bahkan menjalankan nilai-nilai suci itu secara murni dan konsekuen. Keyakinan tersebut menjadi legitimasi dari semua perilaku pemaksaan konsep-konsep gerakannya kepada manusia lain yang berbeda keyakinan dan pemahaman dengan mereka. Armahedi Mahzar sebagaimana dikutip Adeng Muchtar Ghazali menyebutkan bahwa absolutisme, eksklusivisme, fanatisme, ekstrimisme, dan agresivisme adalah "penyakit" yang biasanya menghinggapi aktifis gerakan keagamaan. Absolutisme adalahkesombongan intelektual; eksklusivisme adalah kesombongan sosial; fanatisme adalah kesombongan emosional; ekstremisme adalah berlebih-lebihan dalam bersikap; dan agresivisme adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan fisik. Tiga penyakit pertama adalah wakil resmi kesombongan (ujub). Dua penyakit terakhir adalah wakil resmi sifat berlebih-lebihan.
Toleransi merupakan salah satu tata pikir yang diajarkan oleh Islam, terutama toleransi mengenai beragama. Salah satu ajaran Islam yang digariskan oleh Tuhan untuk menjadi pegangan kaum Muslimin dalam kehidupan beragama ialah ayat yang berbunyi:
Artinya: Tidak ada paksaan dalam agama (karena) sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. Orang-orang yang tidak percaya kepada thagut (berhala, syaithan dan lain-lain) dari hanya percaya kepada Allah, sesungguhnya dan telah berpegang kepada tali yang teguh dan tidak akan putus. Tuhan itu mendengar dan mengetahui". (Q.S. Al-Baqarah : 256).
Pada ayat tersebut di atas ditegaskan bahwa agama (Islam) tidak mengenal unsur-unsur paksaan. Hal ini berlaku mengenai cara, tindak laku, sikap hidup dalam segala keadaan dan bidang, dan dipandang sebagai satu hal yang pokok. Islam bukan saja mengajarkan supaya jangan melakukankekerasan atau paksaan, tapi diwajibkannya pula supaya seorang Muslim menghormati agama-agama lain dan menghargai pemeluk-pemeluknya dalam pergaulan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
toleransi beragama merupakan prinsip yang dianjurkan Islam, dan sebaliknya fanatisme merupakan sikap yang tidak diajarkan dalam Islam. Sebab arti kata "Islam" sebagaimana diartikan oleh Mukti Ali adalah masuk dalam perdamaian, dan seorang muslim adalah orang yang membikin perdamaian dengan Tuhan dan dengan manusia.