Fenomenologi berasal dari kata Yunani, phainomenon yang merujuk pada arti “yang menampak”. Fenomena adalah fakta yang disadari dan masuk ke dalam pemahaman manusia. Sehingga, suatu objek ada dalam relasi kesadaran. Dewasa ini, fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode berpikir yang mempelajari fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa mempertanyakan penyebab dari fenomena tersebut serta realitas objektif dan penampakannya. Fenomenologi sebagai salah satu cabang filsafat pertama kali dikembangkan di universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian dilanjutkan oleh Martin Heidegger dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme. Adapun yang menjadi fokus eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia mahluk sadar atau jalan kehidupan subjek-subjek sadar.
Menurut Hegel, fenomena yang kita alami dan tampak pada kita merupakan hasil kegiatan yang bermacam-macam dan runtutan konsep kesadaran manusia serta bersifat relatif terhadap budaya dan sejarah. Husserl menolak pandangan Hegel mengenai relativisme fenomena budaya dan sejarah, namun dia menerima konsep formal fenomenologi Hegel serta menjadikannya prinsip dasar untuk perkembangan semua tipe fenomenologi: fenomenologi pengalaman adalah apa yang dihasilkan oleh kegiatan dan susunan kesadaran kita. Menurut Husserl, fenomena adalah realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan subyek dengan realitas, karena realitas itu sendiri yang tampak bagi subyek. Dengan pandangan seperti ini, Husserl mencoba mengadakan semacam revolusi dalam filsafat Barat.
Hal demikian dikarenakan sejak Descartes, kesadaran selalu dipa hami sebagai kesadaran tertutup, artinya kesadaran mengenal diri sendiri dan hanya melalui jalan itu dapat mengenal realitas. Sebaliknya Husserl berpendapat bahwa kesadaran terarah pada realitas, dimana kesadaran bersifat intensional, yakni realitas yang menampakkan diri. Sebagai seorang ahli fenomenologi, Husserl mencoba menunjukkan bahwa melalui metode fenomenologi mengenai pengarungan pengalaman biasa menuju pengalaman murni, kita bisa mengetahui kepastian absolut dengan susunan penting aksi-aksi sadar kita, seperti berpikir dan mengingat, dan pada sisi lain, susunan penting obyek-obyek merupakan tujuan aksi-aksi tersebut. Dengan demikian filsafat akan menjadi sebuah ilmu setepat-tepatnya dan pada akhirnya kepastian akan diraih.
Lebih jauh lagi Husserl berpendapat bahwa ada kebenaran untuk semua orang dan manusia dapat mencapainya. Dan untuk menemukan kebenaran ini, seseorang harus kembali kepada realitas sendiri. Dalam bentuk slogan, Husserl menyatakan kembali kepada benda-benda itu sendiri, merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap obyek memiliki hakekat, dan hakekat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Kalau kita mengambil jarak dari obyek itu, melepaskan obyek itu dari pengaruh pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka obyek itu berbicara sendiri mengenai hakekatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri kita. Namun demikian, yang perlu dipahami adalah bahwa benda, realitas, ataupun obyek tidaklah secara langsung memperlihatkan hakekatnya sendiri. Apa yang kita temui pada benda-benda itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakekat. Hakekat benda itu ada dibalik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakekat, maka diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk menemukan pada pemikiran kedua ini adalah intuisi dalam menemukan hakekat, yang disebut dengan wesenchau, yakni melihat (secara intuitif) hakekat gejala-gejala.
|
Fenomenologi |
Dalam melihat hakekat dengan intuisi ini, Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi, yakni penundaan segala pengetahuan yang ada tentang obyek sebelum pengamatan itu dilakukan . Reduksi ini juga dapat diartikan sebagai penyaringan atau pengecilan. Reduksi ini merupakan salah satu prinsip dasar sikap fenomenologis, dimana untuk mengetahui sesuatu, seorang fenomenolog bersikap netral dengan tidak menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian yang telah ada sehingga obyek diberi kesempatan untuk berbicara tentang dirinya sendiri.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu menunjuk ke luar atau berhubungan dengan rea litas di luar pikiran. Kedua, fenomena dari sudut kesadaran Kita, karena selalu berada dalam kesadaran Kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat penyaringan (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni. Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansi sesungguhnya.
Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelasi kesadaran, Pertanyaannya adalah bagaimana caranya agar esensi-esensi tersebut tetap pada kemurniannya, karena sesungguhmya Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansi sesungguhnya, dan tanpa terkontaminasi kecenderungan psikologisme dan naturalisme. Husserl mengajukan satu prosedur yang dinamakan epoche atau (penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi memunculkan esensi). Tanpa penundaan asumsi naturalisme dan psikolgisme, Kita akan terjebak pada dikotomi (subyek-obyek yang menyesatkan atau bertentangan satu sama lain).
Contohnya, saat mengambil gelas, Kita tidak memikirkan secara teoritis (tinggi, berat, dan lebar) melainkan menghayatinya sebagai wadah penampung air untuk diminum. Ini yang hilang dari pengalaman kita, menganut asumsi naturalisme. Dan ini yang kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar filosofis fenomenologi Husserl ialah dari pemikiran gurunya, Franz Brentano. Dari Brentano-lah Husserl mengambil konsep filsafat sebagai ilmu yang rigoris (sikap pikiran di mana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya suatu tindakan atau bersikeras mempertahankan pandangan yang sempit dan ketat). Sebagaimana juga bahwa filsafat terdiri atas deskripsi dan bukan penjelasan kausal. Karena baginya fenomenologi bukan hanya sebagai filsafat tetapi juga sebagai metode, karena dalam fenomenologi Kita memperoleh langkah-langkah dalam menuju suatu fenomena yang murni. Memahami fenomena sebagaimana adanya merupakan usaha kembali kepada sebagaimana penampilannya dalam kesadaran. Usaha kembali pada fenomena tersebut memerlukan pedoman metodik. Tidak mungkin untuk melukiskan fenomena-fenomena sampai pada hal-hal yang khusus satu demi satu. Yang pokok adalah menangkap hakekat fenomena-fenomena. Oleh karena itu metode tersebut harus dapat menyisihkan hal-hal yang tidak hakiki, agar hakekat ini dapat menungkap diri sendiri. Bukan suatu abstraksi melainkan intuisi mengenai hakekat sesuatu.
Sebagai metode penelitian, fenomenologi sering dikenal sebagai metode deskriptif kualitatif dengan paradigma konstruktivisme. Sesuai dengan asumsi ontologis yang ada dalam paradigma konstruktivisme, peneliti yang menggunakan metode ini akan memperlakukan realitas sebagai konstruksi sosial kebenaran. Realitas juga dipandang sebagai sesuatu yang sifatnya relatif, yaitu sesuai dengan konteks spesifik yang dinilai relevan oleh para actor sosial.
Secara epistemologi, ada interaksi antara peneliti dan subjek yang diteliti. Sementara itu dari sisi aksiologis, peneliti akan memperlakukan nilai, etika, dan pilihan moral sebagai bagian integral dari penelitian. Peneliti merupakan fasilitator yang menjembatani keragaman subyektivitas pelaku sosial dalam rangka merekonstruksi realitas sosial. Pemikiran filsafat terbagi ke dalam dua kelompok besar yang saling bertolak belakang, yakni aliran empirisme dan aliran rasionalisme. Pada masa pertentangan aliran tersebut, muncullah filsuf Immanuel Kant yang mencoba untuk menjembatani perbedaan tersebut.Immanuel Kant berpendapat bahwa pengetahuan merupakan apa yang tampak pada diri kita, atau dikenal dengan istilah fenomena.
Fenomena diartikan sebagai sesuatu yang terlihat atau muncul dengan sendirinya. Auguste Comte menjelaskan bahwa fenomena adalah fakta atau keadaan yang harus diterima dan dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan. Fenomenologi semakin berkembang ketika Hegel menggunakannya untuk menjelaskan pengertian tesis dan anthesis yang kemudian melahirkan sintesis . Pada dasarnya, akar fenomenologi adalah pandangan-pandangan filsafat mengenai sebuah fenomena.
Fenomenologi merupakan filosofi dan sekaligus suatu pendekatan metodologi dalam penelitian yang bersifat kualitatif. Hakekatnya, fenomenologi berkenaan dengan pemahaman tentang bagaimana keseharian, dunia intersubyektif (dunia kehidupan) atau juga disebut lebenswelt . Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani dengan asal suku kata phanamenon yang berarti fenomena atau sesuatu yang tampak dan terlihat. Dalam bahasa Indonesia, biasa dipakai istilah gejala. Istilah fenomenologi diperkenalkan oleh Johann Heinrick Lambert, sedangkan tokoh pelopor fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938).
Metodologi kualitatif dengan menggunakan metode fenomenologi merupakan riset terhadap dunia kehidupan orang-orang, pengalaman subjektif mereka terhadap kehidupan pribadi sehari -hari. Periset secara konsisten akan melakukan bracketing atau mengurung asumsi-asumsi pribadi peneliti sehingga peneliti mampu melihat fenomena dari sudut pandang responden. Fenomenologi berusaha mendekati objek kajian secara konstrukvis serta pengamatan yang cermat, dengan tidak menyertakan prasangka oleh konsepsi- konsepsi manapun sebelumnya.