Pengertian Korupsi - Kata korupsi berasal dari bahasa latin coruptic coruptus, selanjutnya disebutkan bahwa coruptioitu berasal pula dari kata asal corurnperre, bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti Inggris: corruption, corrupt; Prancis: corruption;dan Belanda: corruptic (korruptic).
Seperti yang kita tahu bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia “korupsi” arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat di suap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan, yang menghina atau memfitnah yang kemudian menjadi luas penggolongan atau jenis korupsi seperti dalam bidang politik, keuangan, materiil.
Kata korupsi sekarang ini sering terdengar pada setiap saat, baik itu melalui surat kabar, majalah, media elektronik, dan lain-lain. Hal inilah yang sering dibeberkan dalam kasus manipulasi atau penipuan yang dilakukan oleh oknum tertentu yang kebetulan mendapat kesempatan untuk memegang kursi kekuasaan. Dengan adanya kekuasaan itulah sering disalahgunakan untuk memenuhi hasrat pribadi dan nafsu pribadi, sehingga akan cepat mempermudah rusaknya sendi-sendi dan kekuatan pemerintah, seperti yang dikatakan oleh Soejono Soekanto, “korupsimerupakan benalu sosial yang merusak sendi-sendi struktur pemerintahan dan menjadi hambatan paling utama bagi pembangunan, ada yang mengatakan korupsi adalah “seni hidup”dan menjadi aspek kebudayaan dalam kehidupan kita.”
W.Sangaji berpendapat bahwa:
Pengertian korupsi tergantung dari sudut pandang setiap orang, apa dan bagaimana korupsi itu diartikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hal ini di tandai dengan selain terdapat keseragaman dalam merumuskan pengertian korupsi. Perlu di kemukakan bahwa korupsi adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang menyuap orang atau kelompok lain untuk mempermudah keinginan dan mempengaruhi si penerima untuk memberikan pertimbangan khusus guna mengabulkan permohonannya.
|
Pengertian Korupsi |
W.J.S. Poerwodarminta dalam kamus umum bahasa Indonesia berpendapat bahwa “
korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang, dan sebagainya”. Pengertian yang dipahami dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah pengertian korupsi dalam arti luas, meliputi perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan negara yang dapat dituntut dan dipidana berdsarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Keuangan negara yang dimaksud adalah kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul :
1) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan tanggung jawab lembaga negara baik di tingkat pusat maupun daerah.
2) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan tanggung jawab BUMN, Yayasan, Badan Hukum dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Menurut Martiman Projohamidjoyo: Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah baik di pusat maupun di daerah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan untuk memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Pengertian yang lebih khusus tentang tindak pidana korupsi terdapat pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam pasal 2 ayat (1) yang menentukan bahwa “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang merugikan keuangan negara / perekonomian negara”.
Sedangkan pengertian tindak pidana korupsi menurut Kartini Kartono: “
korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan kewenangan dan jabatannya guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara, jadi korupsi gejala salah satu terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata memperkaya diri sendiri)”.
Dengan demikian korupsi merupakan suatu tindak pidana yang dapat dikenai sanksi pidana dan hukuman sesuuai dengan peraturan perundangan, karena akibat yang ditimbulkan adanya korupsi adalah sangat merugikan kepentingan negara dan masyarakat.
Kartini Kartono menyatakan bahwa: Korupsi dapat dimasukan ke dalam kategori perbuatan kejahatan maka praktik-praktik yang dapat dimasukan dalam perbuatan korupsi antara lain adalah penggelapan, penyogokan, penyuapan, kecerobohan administrasi dengan materiil, barter kekuasan politik, dengan sejumlah uang penekanan uang kontrak-kontrak seperti mainan”untuk mendapatkan komisi besar diri sendiri dan kelompok dalam penjualan “pengampinan” pada oknum-oknum yang melakukan tindak pidana agar tidak dituntut oleh yang berwajib dengan imbalan uang, eksploitasi dan pemerasan formal oleh pegawai dan pejabat resmi dan lain-lainnya”.
Dengan demikian jelaslah apabila masyarakat menganggap bahwa korupsi adalah suatu perbuatan yang wajar, maka dapat dipastikan bahwa tindakan korupsi akan berkembang dan merajalela. Salah satu lingkungan yang baik bagi perkembangan tindak pidana korupsi tiada lain adalah kehadiran birokrasi-patrimonial, tidak hanya dalam bentuk-bentuknya yang tradisional di masa lampau, akan tetapi juga dalam bentuk-bentuk yang baru yang memakai kedok birokrasi modern seperti badan pengawas keuangan negara, inspektur jenderal di setiap kementrian, parlemen, alat penuntut umum dan sebagainya. Tetapi bentuk-bentuk modern ini, yang tetap dikuasai oleh nilai-nilai birokrasi patrimonial yang lama, tidaklah mempunyai kekuatan untuk menghadapi perkembangan korupsi, kita lihat betapa si pengawas ikut korupsi dengan yang diawasi sampai-sampai alat penyidik, penuntut umum dan lain-lain banyak yang terlibat dalam tindak pidana korupsi.
Menurut Lubis Mochtar dan Scoot James: Warisan birokrasi patrimonial dan masa feodalisme telah menimbulkan birokrasi nepotisme yang memberi jabatan atau jasa khusus pada sanak dan sahabat. Dalam lingkungan seperti ini berbuat korupsi di anggap sesuatu yang wajar saja dan masyarakat pun tidak marah jika mengetahui berbagai tindak korupsi yang telah terjadi, dan dapat disimpulkan bahwa hingga hari ini masyarakt Indonesia masih menganggap korupsi itu wajar-wajar saja.
Sementara itu, mengenai kategori hukum pidana, “
tindak pidana korupsi dikategorikan ke dalam hukum pidana khusus, atau juga dikenal dengan delik khusus” (Hamzah 2008: 97). Berdasarkan ketentuan pasal 103 Kitab Undang-Undang (KUHP), dimungkinkan adanya peraturan perundang-undangan pidana di luar KUHP. Peraturan perundang-undangan pidana diluar KUHP inimerupakan pelengkap hukum pidana yang dikodifikasikan dalam KUHP. Dalam pasal 103 KUHP disebutkan bahwa “ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya yang diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentuakan lain” (Pasal 103 KUHP).
Lebih jauh, yang dimaksud dengan hukum pidana khusus menurut Adam Chazawi, adalah “semua tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi dalam Kitab Undang-Undang hukum Pidana pada buku II dan buku III, misalnya tindak pidana korupsi, tindak pidana perbankan,dan tindak pidana narkotika.”
Kemudian lebih jelasnya, dapat dilihat dari unsur-unsur tindak pidana korupsi yang menurut pembentuk undang-undang adalah orang-orang yang dipandang sebagai pelaku tindak pidana korupsi dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 423 dan pasal 424 KUHP, bukan karena atas kekuasaan dan jabatan akan tetapi orang tersebut juga untuk mencari keuntungan sendiri dan merugikan keuangan negara.
Selain seperti yang disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 yang berarti juga unsur-unsur pokok dari korupsi adalah:
1) Setiap orang.
2) Secara melawan hukum.
3) Melakukan perbuatan memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
4) Menyelenggarakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang ada padanya.
5) Dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Ditinjau dari unsur-unsur di atas tersebut, korupsi juga dapat dilihat dari sebab-sebab, ciri-ciri dan sifat adanya tindak pidana korupsi.
Menurut Evi Hartanti korupsi dapat dilihat dari beberapa faktor, yaitu:
1) Lemahnya pendidikan agama dan etika.
2) Kolonialisme
Suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.
3) Kurangnya pendidikan
Namun kenyataannya sekarang kasus-kasus korupsi di Indonesia dilakukan oleh para koruptor yang memilki kemampuuan iantelektual yang tinggi, terpelajar dan terpandang sehingga alasan ini dapat dikatakan kurang tepat.
4) Kemiskinan
Pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya bukan didasari oleh kemiskinan melainkan keserakahan, sebab mereka bukanlah dari kalangan yang tidak mampu melainkan para konglomerat.
5) Tidak adanya sanksi yang keras.
6) Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku anti korupsi.
7) Struktur pemerintahan.
8) Perubahan radikal, pada saat sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional.
9) Keadaan masyarakat, Korupsi dalam suatu birokrasi bisa
mencerminkan keadaan masyarakat secara keseluruhan.
Faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan moral dan intelektual para pemimpin masyarakat.
Sebagaimana telah diuraikan mengenai
pengertian korupsi diatas, maka menurut Shed Husein Alatas sebagaimana dikutip oleh Evi Hartanti dalam bukunya yang berjudul “Tindak Pidana Korupsi”, ciri-ciri korupsi itu sendiri, yaitu:
a) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian atau penipuan.
b) Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya namun demikian motif korupsi tetap dijaga kerahasiannya.
c) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.
d) Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya selalu berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.
e) Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
f) Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum.
g) Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
Berbicara mengenai korupsi ini dapat pula diadakan pembagian-pembagian menurut sifatnya (motifnya), dimana
sifat korupsi dibagi dalam dua bentuk, yaitu:
1) Korupsi yang bermotif terselubung. Maksudnya adalah korupsi yang sepintas lalu kelihatannya bermotif politik tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata.
2) Korupsi yang bermotif ganda. Maksudnya adalah seseorang melakukan korupsi yang secara lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya bermotif lain, yaitu motif kepentingan politik.
Menurut Baharudin Lopa dalam bukunya “Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum”, ”Seseorang yang melakukan korupsi termasuk dalam salah satu atau kedua sifat tersebut di atas secara popular dapat dikatakan mengkorup kebenaran, apabila golongan intelektual ini telah memberikan nasehat yang tidak jujur, sehingga turut menyebabkan dilaksanakannya satu kebijakan yang merugikan rakyat. Maka sangat berat tanggung jawab mereka, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun masyarakat yang dirugikan itu.”