Pengertian wakaf - Wakaf berasal dari bahasa arab dari kata waqafa dengan makna aslinya berhenti, diam di tempat, atau menahan. Kata al-waqf adalah bentuk masdar (gerund)dari ungkapan waqfu al-syai’, yang berarti menahan sesuatu. Sebagai benda, kata wakaf semakna dengan kata al-habs. Kalimat : habistu ahbisu habsandan kalimat : ahbastu uhbisu ahbaasan, maksudnya adalah waqaftu (menahan).
Menurut istilah (hukum) para ulama berbeda pendapat tentang arti wakaf. Mereka mendefinisikan wakaf dengan definisi yang beragam sesuai dengan perbedaan mahzab yang dianut. Ketika mendefinisikan wakaf, para ulama merujuk kepada Imam Mahzab, seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Imam-Imam lainnya. Adapun pendapat masing-masing mahzab tersebut tentang definisi wakaf menurut istilah sebagai berikut:
a. Mahzab Syafi’i
Imam Nawawi mendefinisikan pengertian wakaf dengan “Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya bukan untuk dirinya, sementara benda itu tetap ada, dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT”.
b. Mahzab Hanafi
Imam Syarkhasi mendefinisikan pengertian wakaf dengan “Menahan harta dari jangkauan kepemilikan orang lain (Habsul mamluk ‘an al-tamlik min al-ghair)”. Kata harta milik (mamluk) maksudnya memberikan pembatasan bahwa perwakafan terhadap harta yang tidak bisa dianggap milik akan membatalkan wakaf. Sedangkan kalimat “dari jangkauan kepemilikan orang lain (an al-tamlik min al-ghair)” maksudnya harta yang akan diwakafkan itu tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan wakif, seperti halnya untuk jual beli, hibah atau jaminan
c. Mahzab Malikiyah
Ibnu Arafah mendefinisikan pengertian wakaf “Memberikan manfaat sesuatu, pada batas waktu keberadaannya, bersamaan tetapnya wakaf dalam kepemilikan si pemiliknya meski hanya perkiraan (pengandaian)”.
d. Ulama Zaidiyah
Pengarang Al-Syifa mendefinisikan pengertian wakaf sebagai “pemilikan khusus, dan dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT”. Kalimat “pemilikan khusus” artinya bukan pengandaian, penyewaan, dipaksa, atau terpaksa. Sedangkan kalimat “dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT”, hal itu tidak disyaratkan pada sesuatu, selain pada wakaf.
|
Pengertian Wakaf |
Pendapat-pendapat dari para Imam Mahzab tersebut memberikan rumusan pengertian tentang wakaf, dapat diartikan bahwa pengertian wakaf adalah memindahkan hak kepemilikan suatu benda abadi tertentu dari seseorang kepada orang lain (individu) atau organisasi Islam, untuk diambil manfaatnya dalam rangka ibadah untuk mencari ridha Allah SWT.
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, pengertian wakaf yaitu perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, pengertian wakaf yaitu perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah hak milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Menurut Pasal 215 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI), pengertian wakaf yaitu perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Dasar Hukum Wakaf
Adapun dasar hukum wakaf sebagai berikut:
- Al Qur’an Surat Al-Hajj ayat 77, memerintah kepada orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya agar tunduk kepada Allah SWT dengan bersujud dan beribadah kepada-Nya dengan apapun yang dapat digunakan untuk menghambakan diri kepada-Nya. Di samping itu, mereka juga diperintah untuk berbuat kebaikan agar memperoleh keuntungan dan mendapat pahala serta keridaan-Nya. Salah satu perbuatan baik yang diperintahkan dalam ayat tersebut dapat dilakukan dengan melalui wakaf sebab jika seseorang mewakafkan harta benda yang dimilikinya, berarti dia telah melaksanakan kebaikan tersebut dan pahalanya terus mengalir selama harta benda wakaf tersebut bermanfaat.
- Al Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 267, menentukan tentang jenis harta yang akan diinfakkan, yakni hendaknya harta tersebut dari jenis yang paling baik dan disenangi oleh pemberi. Infak dengan harta yang paling baik tersebut, di antaranya dapat dilakukan oleh seseorang dengan mewakafkan tanah yang dimilikinya, seperti wakaf tanah yang dilakukan oleh Umar bin Khattab.
- Al Qur`an Surat Ali Imran 92, Allah SWT menetapkan tanda keimanan dan indikasi yang benar ialah berinfak di jalan Allah SWT dengan harta yang disayanginya secara ikhlas dan disertai niat yang baik. Bahkan, Allah SWT lebih tegas menyatakan kamu tidak akan sampai kepada kebaikan yang diridhai Allah SWT, seperti lazimnya orang-orang yang taat kepada Allah SWT dan mendapatkan ridha-Nya serta mendapatkan kemurahan rahmat sehingga memperoleh pahala dan masuk surga serta dihindarkan siksaan Allah SWT dari diri mereka, kecuali kamu menginfakkan apa yang kamu senangi, yakni harta yang kalian muliakan. Sebagian ahli mendefinisikan infak adalah pemberian harta tanpa kompensasi apapun. Pelaksanaan infak yang dianjurkan dalam ayat ini salah satunya dapat dilakukan dengan melalui wakaf, baik berupa benda tidak bergerak atau benda bergerak, seperti uang, mobil, dan lain-lain.
- Hadis riwayat Bukhari Muslim dari Ibnu Umar r.a, mengatakan bahwa Umar r.a datang kepada Nabi Muhammad SAW untuk minta petunjuk tentang tanah yang diperolehnya di Khaibar, sebaiknya dipergunakan untuk apa, oleh Rasulullah SAW, dinasehatkan : “Kalau engkau mau, tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasilnya”. Umar mengikuti nasehat Rasulullah SAW tersebut, kemudian disedekahkan (diwakafkan), dengan syarat pokoknya tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan.
- Hadis riwayat An-Nasa’i dan Ibnu Majah : Bahwa Umar r.a telah berkata kepada Nabi SAW : “Sesungguhnya saya mempunyai seratus saham di Khaibar, belum pernah saya mempunyai harta yang lebih saya cintai daripada itu, sesungguhnya saya bermaksud hendak menyedekahkannya”, Jawab Nabi SAW, “Engkau tahan pokoknya(asalnya) dan sedekahkan buahnya”.
- Hadis riwayat Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, dan Abu Daud dari abu Hurairah r.a. mengatakan, “Apabila mati anak adam, terputuslah segala amalnya kecuali tiga macam amalan, yaitu sedekah yang mengalir terus-menerus (wakaf), ilmu yang bermanfaat yang diamalkan, dan anak yang sholeh selalu mendoakan baik untuk kedua orang tuanya” .
- Pasal 49 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa : Hak milik tanah Badan-badan Keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. Untuk perwakafan tanah, karena kekhususannya di mata hukum agraria nasional maka kedudukan dan praktek pelaksanaannya diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 49 ayat (3) yang berbunyi : Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan ini menegaskan bahwa soal-soal pertanahan (keagrariaan) yang bersangkutan dengan peribadatan dan keperluan suci lainnya yang salah satunya adalah masalah perwakafan tanah, di dalam sistem hukum agraria nasional mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya.
Unsur-unsur Wakaf
Sempurna atau tidaknya wakaf sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang ada dalam perbuatan wakaf. Masing-masing unsur harus saling menopang satu dengan lainnya. Keberadaan yang satu sangat menentukan keberadaan yang lainnya. Adapun unsur-unsur atau rukun wakaf menurut sebagian besar ulama (Mahzab Malikiyah, Syafi’iyah, Zaidiyah dan Hanabilah) adalah:
1. Ada orang yang berwakaf (Wakif)
Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan tanah milikya. Wakifharus mempunyai kecakapan materiil. Artinya mereka telah dewasa (baligh), berakal sehat, tidak dibawah pengampuan, dan tidak karena terpaksa berbuat.
2. Ada harta yang diwakafkan (Mauquf)
Barang yang dipandang sah apabila merupakan harta bernilai, tahan lama dipergunakan dan hak milik wakifmurni. Harta wakaf dapat berupa benda tetap maupun benda bergerak. Dalam hal barang wakaf adalah tanah, maka harus berstatus hak milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan perkara. Dasar pertimbangannya adalah karena wakaf itu bersifat suci dan abadi, maka selain tanah itu berstatus hak milik juga harus bersih dari perselisihan, tanggungan, beban dan persengketaan.
3. Ada tempat ke mana diwakafkan harta itu/ tujuan wakaf (Mauquf’alaih)
Tujuan wakaf tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, hal ini sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu bagian dari ibadah, termasuk dalam kategori ibadah pada umumnya, sekurang-kurangnya merupakan hal-hal yang dibolehkan atau mubah menurut nilai hukum Islam. Apabila ditujukan kepada kelompok orang-orang tertentu, harus disebutkan nama atau sifat maukuf’alaih secara jelas agar harta wakaf segera dapat diterima setelah wakaf diikrarkan. Demikian juga apabila diperlukan organisasi (badan hukum) yang menerima harta wakaf dengan tujuan membangun tempat-tempat ibadah umum.
4. Ada akad/ pernyataan wakaf
Pernyataan wakaf dapat dikemukakan dengan tulisan, lisan atau dengan suatu isyarat yang dapat dipahami maksudnya. Pernyataan dengan tulisan atau lisan dapat dipergunakan menyatakan wakaf oleh siapa saja, sedangkan cara isyarat hanya bagi orang yang tidak dapat mempergunakan dengan cara tulisan atau lisan. Tentu saja pernyataan dengan isyarat tersebut harus sampai benar-benar dimengerti pihak penerima wakaf agar dapat menghindari persengketaan di kemudian hari. Pernyataan wakaf tersebut dituangkan dalam sebuah akta yaitu Akta Ikrar Wakaf (AIW). Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) setelah wakifmengikrarkan penyerahan tanah wakafnya, disamping ikrar secara lisan. Akta tersebut sah menurut agama Islam dan merupakan bahan untuk pendaftaran tanah wakaf di kantor pertanahan. Sebagaimana pengalihan hak atas tanah pada umumnya yang aktanya dibuat oleh ketentuan Akta Ikrar Wakaf (AIW) itu dimaksudkan untuk memenuhi asas publisitas dan asas spesialitas.
5. Ada pengelola wakaf (Nazhir)
Pengelola wakaf adalah orang, organisasi atau badan hukum yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sebaik-baiknya sesuai dengan wujud dan tujuannya. Siapapun dapat menjadi nazhir asalkan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Bila nazhiritu adalah perorangan, maka harus memenuhi syarat antara lain beragama Islam, dewasa, dapat dipercaya (amanah) serta mampu secara jasmani dan rohani untuk menyelenggarakan segala urusan yang berkaitan dengan harta wakaf.
6. Ada jangka waktu
Mengenai syarat jangka waktu masih banyak kalangan yang mempertentangkan. Pendapat pertama menyatakan bahwa wakaf haruslah bersifat permanen dan merupakan pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama. Bahwa wakaf harus diberikan untuk selamanya (permanen) dan harus disertakan statemen yang jelas untuk itu. Pendapat kedua menyatakan bahwa wakaf boleh bersifat sementara dan sah baik dalam jangka waktu yang panjang maupun pendek.
Di Indonesia, syarat permanen dicantumkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal 215 KHI dinyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Jadi menurut pasal tersebut, wakaf sementara adalah tidak sah.
Namun syarat itu kemudian berubah setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tersebut dinyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakifuntuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum menurut syariah. Jadi, menurut ketentuan ini wakaf sementara juga diperbolehkan asalkan sesuai dengan kepentingannya.
Syarat-syarat Wakaf
Untuk sahnya suatu wakaf diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Wakaf harus dilakukan secara tunai, tanpa digantungkan kepada akan terjadinya sesuatu peristiwa di masa yang akan datang, sebab pernyataan wakaf berakibat lepasnya hak milik seketika setelah wakifmenyatakan berwakaf. Selain itu berwakaf dapat diartikan memindahkan hak milik pada waktu terjadi wakaf itu.
2. Tujuan wakaf harus jelas, maksudnya hendaklah wakaf itu disebutkan dengan terang kepada siapa diwakafkan. Apabila seseorang mewakafkan harta miliknya tanpa menyebutkan tujuan sama sekali, maka wakaf dipandang tidak sah.
3. Wakaf merupakan hal yang harus dilaksanakan tanpa syarat boleh khiyar. Artinya tidak boleh membatalkan atau melangsungkan wakaf yang telah dinyatakan sebab pernyataan wakaf berlaku tunai dan untuk selamanya.
Selain syarat-syarat umum tersebut diatas, menurut hukum Islam ditentukan pula syarat khusus yang harus dipenuhi oleh orang yang memberikan wakaf dan harta yang diwakafkan, syarat itu adalah:
1. Ada yang berhak menerima wakaf itu bersifat perseorangan.
2. Adapula yang berhak menerima wakaf bersifat kolektif/umum, seperti badan-badan sosial Islam.
Macam-macam Wakaf
Wakaf pada prinsipnya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu wakaf Khairi dan wakaf Ahli.
1. Wakaf Ahli
Wakaf Ahli atau wakaf keluarga ialah wakaf yang ditujukan pada orang-orang tertentu seorang atau lebih, baik keluarga wakif atau bukan. Wakaf ahli ini dapat dijumpai misalnya wakaf kepada kyai yang sehari-hari bertugas mengajar santri-santrinya di Pondok Pesantren. Atas dasar kepentingan Islam secara umum, maka kyai sebagai penanggung jawab memperoleh wakaf tanah pertanian dari seseorang, kitab-kitab untuk seseorang yang mampu menggunakannya, kemudian diteruskan kepada cucu-cucunya dan seterusnya.
Wakaf semacam ini dipandang sah, dan yang berhak menikmati harta wakaf itu adalah mereka yang telah ditunjuk dalam pernyataan wakaf tersebut. Persoalan yang mungkin timbul adalah apabila anak keturunan wakif tidak ada lagi yang mampu menjadi kyai atau tidak ada yang mampu mempergunakan kitab-kitab wakaf tersebut.
2. Wakaf Khairi
Wakaf Khairi ialah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan umum, tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu. Definisi ini berdasarkan hadis Umar bin Khattab tentang wakaf. Hadis tersebut menerangkan bahwa wakaf Umar tersebut untuk kepentingan umum, meskipun disebutkan juga tujuan untuk anak kerabatnya. Oleh karena itu titik tekan agar sanak kerabat Umar bin Khattab jangan sampai tidak turut serta menikmati hasil harta wakaf dipandang sudah dicakup oleh kata “kepentingan umum”. Hal ini karena makna “untuk kepentingan umum” itu sebenarnya sudah mencakup siapapun yang termasuk dalam golongan fakir miskin, baik itu keluarga Umar bin Khattab ataupun bukan sanak kerabatnya.