Kata ifta' adalah masdar dari kata afta, yufti, Ifta’an, adapun kata futya, atau fatwa adalah isim masdar dari afta, hanya saja kata futya lebih sering digunakan oleh orang Arab sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Mandzur dalam lisanya.
Adapun
pengertian Ifta' secara etimologi adalah al-Ibanah (penjelasan), yaitu memberikan penjelasan kepada orang lain. Atas dasar ini, Ifta' berarti memberikan penjelasan kepada orang lain yang menanyakan suatau hal. Usamah 'Umar al-Asyqar menambahkan bahwa ifta' bukan hanya sekedar memberikan penjelasan kepada orang lain, tetapi juga memberikan pertolongan dan petunjuk kepada orang yang meminta fatwa (Mustafti), atau menunjukkan jalan yang harus dilalui oleh mustafti untuk keluar dari permasalahan yang dihadapinya. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Allah ketika menceritakan tentang kerajaan Ratu Saba' ketika menerima surat dari Raja Sulaiman as.
"Berkata dia (Balqis): "Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis (ku)".
Dalam ayat diatas kata aftuni bukan bermakna memberikan penjelasan terhadap apa yang ditanyakan Oleh Balqis, tetapi bermakna permintaan nasehat dan pertimbangan atas suatu perkara yang besar.
Adapun pengertian Ifta' secara terminologi adalah: memberikan keterangan hukum Allah swt berdasarkan dalil Syari'. (al-Ikhbar 'an Hukmillah bidalilin Syar'iyyin).
Dari definisi di atas kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan
al-Ifta' adalah mengeluarkan keterangan hukum Allah swt sesuai dengan dalil shari' (al-Qur'an dan al-Sunnah), maka memberikan fatwa yang tanpa didasari dalil al-Qur'an dan al-Sunnah bukan dinamakan dengan Ifta'.
Ifta’ hanya sebatas "al-Ikhbar", yaitu memberikan jawaban, oleh karena itu seorang mufti tidak mempunyai hak Ijbar (paksa) kepada mustafti atas fatwa yang disampaikan kepadanya. Syaikh Mahmud Syaltut dalam Muqaddimah fatwanya mengatakan, bahwa fatwa adalah jawaban dari
seorang mufti atas pertanyaan yang disampaikan oleh Mustafti. Oleh karena itu penjelasan hukum yang bukan dari pertanyaan maka tidak dinamakan sebagai fatwa, tetapi dinamakan sebagai ta'lim atau al-Irsyad.
Imam al-Shatibi dalam al-Muwafaqatnya mengatakan bahwa fatwa dan memberikan jawaban pertanyaan (al-jawab ‘an al-sual) adalah dua hal yang berbeda.
Sementara itu Sulaiman al-Asyqar menambahkan bahwa fatwa adalah memberikan keterangan hukum Allah swt atas suatu perkara yang baru (amrin Nazilin). Maka dari itu sebuah keterangan hukum yang sudah pasti, seperti wajibnya shalat dan zakat maka bukan termasuk dalam kategori fatwa, karena dua hal tersebut bukan termasuk perkara yang baru. Pernyataan ini secara tidak langsung mengidikasihkan bahwa orang yang memberikan fatwa (Mufti) adalah orang yang mempunyai derajat Ijtihad, (Mujtahid) sebagaimana Imam Madhab empat. Hal ini juga diamini oleh Imam al-
Syaukani dalam kitab Irsyad al-Fuhul fi Tahqiqi al-haq min 'ilmi al-Ushul nya dan Syaikh Abu Zahrah dalam ushul fiqhnya.
Ulama' lain seperti al-Qarafi menambahkan taqyid (batasan) "min Ghairi Ilzam" tidak memaksa, maka seorang mufti tidak mempunyai hak pemaksaan atas fatwa yang dikeluarkanya sebagaimana seorang Qadi.
Dari penjelasan di atas penulis dapat memberikan kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan fatwa atau adalah: Sebuah keterangan hukum yang tidak mengikat yang diberikan oleh seorang mufti kepada mustafti, baik jawaban atas sebuah pertanyaan atau tidak, baik permaslahan baru ataupun lama yang berlandaskan atas dalil al-Qur’an dan al-Sunnah.
Hal yang melandasi penulis di sini adalah bahwa Rasulullah saw dalam memberikan keterangan hukum pada ummatnya tidak mesti didahului dengan sebuah pertanyaan yastaftunaka (mereka bertanya kepadamu), tetapi segala hal penting yang dipandang oleh Rasulullah untuk Ummatnya, maka ia fatwakan, baik diawali pertanyaan maupun tidak.