Pengertian Klenteng - Nama Klenteng merupakan istilah khusus di Indonesia, karena di negara-negara lain tidak dijumpai istilah seperti ini termasuk di negara asalnya. Mengenai asal usul istilah Klenteng ada yang mengemukakan bahwa di dalam kuil dibunyikan lonceng yang berbunyi teng, teng, teng. Selain itu ada juga yang mengemukakan hubungannya dengan biji kapok yang disebut klenteng, dan di dalam klenteng terdapat lampu minyak kelapa (Shen Deng) yang menggunakan minyak kelapa atau minyak biji kapok. Ada juga yang mengemukakan hubungannya dengan Kwan Im Ting, tetapi semua itu belum dapat dibuktikan kebenarannya.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa klenteng adalah bangunan tempat memuja (berdoa dan bersembahyang) dan melakukan upacara-upacara keagamaan bagi penganut agama Khonghucu. Sedang menurut Badudu Zain dalam kamus Umum Bahasa Indonesia, klenteng berarti rumah tempat
berdoa atau memuja Sang Pencipta bagi orang yang beragama Khonghucu, sedangkan istilah Mio / Bio dalam kamus Mandarin-Indonesia diterjemahkan sebagai kuil atau klenteng.
Klenteng sudah ada sejak turunnya wahyu Tuhan untuk Ru Jia atau agama Khonghucu baik dalam Kitab Suci Wu Jing maupun Su Si. Asal mula tempat ibadah itu merupakan tempat persujudan kepada Tuhan, yang semula disebut Jiao yang kemudian diikuti oleh tempat kebaktian kepada leluhur yang disebut Mio atau Bio.
Perkembangan selanjutnya dibangun pula tempat suci untuk penghormatan kepada Nabi Kongzi dan paraSuci lainnya. Begitupun setelah masuknya agama Budha dan Tao baru disini dibangun ruang untuk penghormatan bagi para Suci Budhis dan Tao di dalam klenteng yang kemudian ditetapkan di Indonesia dengan sebutan Tempat IbadahTri Dharma disingkat menjadi TITD.
Di Indonesia Bio/Klenteng dibangun secara bergotong royong oleh para imigran Tionghoa, biasanya tidak berjauhan dengan lokasi pasar, bangunannya berarsitek Tiongkok, umumnya terdiri atas dua bagian bangunan induk yang bagian atasnya tinggi menjulang dan keempat sudutnya runcing mencuat. Bagian depan sebagai serambi terbuka, ditempatkan sebuah altar besar dimana para jemaah bersembahyang dengan posisi menghadap ke arah pintu masuk untuk bersujud kepada Thian Tuhan Yang MahaEsa. Bagian belakang yang pada bagian depan, ditempatkan altar utama bagi Shen Ming / Sin Bing / Para Suci yang dianggap sebagai “Tuan Rumah”. Dan di bagian kanan kirinya ditempatkan altar bagi para Shen Ming lainnya.
Pada masa setelah tahun 1965, pemerintah Orde Baru yang baru terbentuk setelah peristiwa 1965, bermaksud menghentikan hubungan diplomat dengan Republik Tiongkok dan merencanakan sejumlah tindakan guna memutuskan pertalian masyarakat Tionghoa. Semua perkumpulan marga orang Tionghoa dibubarkan, pemakaian aksara huruf Han / Tionghoa di tempat-tempat umum
dilarang.
Pada masa Orde Baru, klenteng merupakan sebuah rumah ibadah yang diperuntukkan bagi tiga umat agama, karenanya sering dikenal dengan nama TITD (Tempat Ibadah Tri Dharma),yaitu Budha, Taoisme dan Khonghucu. Semangat anti Tionghoa pada masa itu, mengharuskan semua bentuk kebudayaan Tionghoa tidak boleh dipertunjukkan kepada masyarakat umum.